Hal ini ditunjukkan minimnya produk inovasi anak bangsa di masyarakat. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, yaitu dominasi produk teknologi asing. Padahal Indonesia pernah mampu memproduksi produk berteknologi canggih, seperti pesawat terbang, kapal, dan peralatan elektronika. Namun, itu hanya berlangsung tiga tahun ketika krisis moneter melanda negeri ini tahun 1998. Industri strategis—pembuatnya—kemudian terpuruk, bahkan kini berada di ujung tanduk.
Ketua Persatuan Insinyur Indonesia, Said Didu, mengatakan, hal ini disebabkan pemerintah tidak mampu memelihara sumber daya manusia iptek—sebagai sumber kekuatan industri—untuk tetap bertahan. Bahkan yang terjadi adalah brain drain para ahli dan perekayasa keteknikan ke negara maju, termasuk ke negara tetangga, Malaysia dan Singapura.
Sementara itu, belakangan perguruan tinggi di bidang keteknikan kini bergeser pada penyelenggaraan pendidikan bisnis yang lebih diminati.
Kesenjangan komunikasi
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Marzan Aziz Iskandar mengatakan, komunikasi antara lembaga penelitian, peneliti atau perekayasa, serta perguruan tinggi dengan industri masih sangat kurang. Akibatnya, antara kebutuhan industri dan kemampuan peneliti tidak terkait.
Upaya memperbaiki hubungan lembaga penelitian dengan industri sebenarnya sudah digalakkan sejak beberapa tahun lalu. Namun, hasilnya terasa sangat lambat. Industri tetap lebih suka membeli produk jadi asing karena lebih murah, praktis, dan risikonya jauh lebih kecil dibandingkan dengan mendirikan perusahaan untuk memanfaatkan teknologi dalam negeri.
"Industri perlu insentif khusus dari pemerintah agar mau menggunakan produk teknologi dalam negeri," ujarnya.
Komitmen rendah
Peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional dimulai sejak 1995 yang ditandai dengan keberhasilan penerbangan perdana pesawat N-250 yang merupakan hasil karya anak bangsa. Namun, sejak saat itu, pesawat ini tidak pernah diproduksi karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997-1998 dan rendahnya komitmen pemerintah.
Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi, Institut Teknologi Bandung (ITB), Wawan Gunawan A Kadir menambahkan, ketiadaan regulasi yang mengatur hubungan antara industri dan perguruan tinggi membuat riset perguruan tinggi kurang termanfaatkan. Kalaupun ada hasil penelitian yang dimanfaatkan industri, hal itu terjadi karena adanya hubungan antar-individu di perguruan tinggi dan industri, bukan karena hubungan kelembagaan.
"Kerja sama antara industri dan perguruan tinggi ini lebih efisien dan murah daripada industri membangun sendiri unit penelitiannya," ujarnya.
Kerja sama ini memang tidak bisa langsung menghasilkan produk. Untuk penelitian hingga menghasilkan produk untuk skala industri membutuhkan waktu 5-10 tahun. Biaya penelitian juga tidaklah murah. Berbagai kendala inilah yang membutuhkan insentif dari pemerintah.
"Butuh kemauan politik kuat dari pemerintah untuk mau memanfaatkan teknologi buatan sendiri," katanya.
Menurut Wawan, ITB tidak hanya mendorong pemanfaatan hasil penelitiannya untuk dimanfaatkan industri, tetapi juga mendorong lahirnya teknopreneur-teknopreneur muda. Dengan demikian, lulusan perguruan tinggi tak hanya disiapkan menjadi pegawai, tetapi juga menjadi wirausahawan.
Sumber : KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment