Jakarta - Pertahanan dan keamanan di laut, kini menjadi salah satu prioritas. Ini karena laut telah menjadi salah satu sumber Trans National Organized Crime (TNOC) yang utama. Banyak kejahatan dan tindak pelanggaran di laut berkembang menjadi kriminal lintas negara yang terorganisir dan melibatkan para pemilik modal besar. Pencemaran laut, kini juga menjadi isu yang dominan baik di kawasan regional maupun internasional.
Kawasan Asia Pasifik tercatat sebagai kawasan dengan tingkat pelanggaran cukup tinggi. Sejumlah isu utama yang menonjol, antara lain pembajakan dan perdagangan manusia, terorisme dan penyelundupan terutama senjata.
Di kawasan Asia Tenggara, penyelundupan senjata diperkirakan mencapai ribuan pucuk per tahun, sekitar 80 persennya dilakukan melalui laut. Meski sebagian besar TNOC ini tergolong kejahatan dan pelanggaran non-militer namun dampak dan kerugian yang ditimbulkan sangat signifikan. Tidak hanya secara ekonomi, sosial, dan ekologi, berbagai praktik TNOC tersebut juga bisa melemahkan kedaulatan wilayah suatu bangsa.
Berada di antara dua samudera dan dua benua, membuat posisi Indonesia sangat strategis sebagai urat nadi pelayaran niaga internasional. Dari segi potensi, Indonesia adalah salah satu negara yang termasuk dalam Coral Triangle, yakni negara dengan potensi maritim terbesar di dunia. Potensi maritim Indonesia diperkirakan mencapai Rp 7 ribu triliun per tahun.
Sedikitnya ada 11 sektor ekonomi kelautan yang dimiliki Indonesia. Yakni, perikanan tangkap, perikanan budi daya, industri pengelolaan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, hutan mangrove, perhubungan laut, sumber daya pulau-pulau kecil, industri dan jasa maritim, serta sumber daya alam (SDA) non-konvensional. Secara keseluruhan, potensi nilai total ekonomi kesebelas sektor kelautan tersebut diperkirakan mencapai 500 miliar dolar AS (sekitar Rp 4.500 triliiun) per tahun. (Slamet Soebiyanto, 2007)
Posisi yang strategis dan potensi ekonomi maritim yang luar biasa seharusnya menjadi modal besar bagi Indonesia untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat. Sayang, diperkirakan baru sekitar 10 persen dari berbagai potensi maratim Indonesia yang mampu dirambah. Ini pun baru dalam tataran pengeksploitasian SDA laut. Pemberdayaan potensi maritim untuk kesejahteraan kian terhambat oleh berbagai TNOC yang kian marak terjadi di laut Indonesia. Dampak dan kerugian yang ditimbulkan pun sangat besar.
Untuk illegal fishing saja, potensi kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 80 triliun. Kerugian tersebut terdiri dari potensi ikan yang hilang mencapai Rp 30 triliun dan kehilangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 50 triliun setiap tahun. Diperkirakan sekitar 3.180 kapal nelayan asing beroperasi secara ilegal setiap tahunnya di perairan Indonesia, terutama di perairan Natuna, Sulut dan Arafuru.
Sementara, penyelundupan kayu diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 6,6 triliun per tahun. Belum lagi, pencemaran laut yang diperkirakan mencapai jarak sepanjang 167.000 km. Berbagai kerugian ini akan terus bertambah jika paradigma kita terhadap keamanan di laut tidak juga berubah dan tidak diikuti oleh sejumlah langkah konkrit untuk mengantisipasinya. Pertahanan dan keamanan laut yang kokoh kini menjadi salah satu kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi.
Bagi Indonesia, terdapat sejumlah masalah dan kendala dalam mengantisipasi ancaman TNOC. Salah satunya adalah masalah anggaran. Anggaran pertahanan keamanan Indonesia relatif kecil, yakni baru sekitar lima persen dari APBN. Meski terjadi penambahan anggaran pertahanan dari Rp 64 triliun menjadi Rp 77 triliun pada tahun 2013, namun jumlah ini sebenarnya masih jauh dari ideal dan kalah jauh dari negara lain. Singapura, misalnya.
Meski hanya berpenduduk sekitar 4 juta orang, anggaran militer Singapura merupakan yang terbesar di antara negara-negara anggota ASEAN. Bahkan, sejak 1970, Singapura telah mengalokasikan rata-rata 6 persen dari PDB-nya untuk pengeluaran pertahanan. Tak heran, jika teknologi militer Singapura paling maju di ASEAN.
Pada dekade 1960-an, anggaran pertahanan Indonesia sebenarnya pernah mencapai 29 persen dari PDB. Namun, jumlah ini terus menyusut sehingga kadangkala perlengkapan armada dan personil laut kita kalah canggih dengan perlengkapan nelayan kapal asing yang melakukan penjarahan.
Minimnya anggaran berdampak krusial pada banyak aspek. Secara politis, posisi tawar Indonesia menjadi rendah di mata internasional sehingga memberi peluang bagi negara lain untuk memprovokasi bahkan mengganggu kedaulatan NKRI. Minimnya anggaran juga berdampak pada lemahnya pengawasan daerah perairan sehingga menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Selain masalah anggaran, keterbatasan teknologi dan SDM juga menjadi masalah serius.
Berbagai keterbatasan di atas tidak boleh menyurutkan langkah kita untuk terus mengupayakan pengamanan wilayah laut agar tetap optimal. Berbagai inovasi harus dilakukan. Seperti yang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut (AL) dan sejumlah pihak terkait, melalui pembangunan kapal perang antiradar KRI Klewang-625 yang baru saja diluncurkan, beberapa waktu lalu.
Pembangunan kapal perang canggih di dalam negeri oleh putra-putri Indonesia sendiri diharapkan tidak hanya bisa menyiasati keterbatasan anggaran, memunculkan kecintaan, rasa memiliki dan tanggung jawab namun sekaligus mampu meningkatkan keamanan laut Indonesia dari berbagai ancaman TNOC. Perjuangan masih panjang namun ini bisa menjadi momentum yang bagus untuk membangun kekuatan pertahanan dan keamanan laut Indonesia yang handal. Sebuah fondasi bagi terwujudnya negara maritim yang kita cita-citakan bersama. Semoga.
Sumber :
Suara Karya