Prototipe pesawat siluman (stealth) China J-20 pada tanggal 7 Januari 2011 terlihat di landas pacu untuk uji coba di Chengdu, barat daya China. Media massa China melaporkan tentang prototipe pesawat siluman J-20 yang tengah menjalani uji coba.Tanggal 10 Januari lalu menjadi momen yang penting bagi militer China. Walaupun masih dalam tahap uji coba, suksesnya uji terbang prototipe pesawat siluman (stealth) J-20 itu menjadi bukti dari pencapaian yang signifikan bagi China, khususnya industri pertahanannya.
Berita soal uji terbang pesawat siluman J-20 oleh China itu menjadi perhatian dunia karena dilangsungkan menjelang kunjungan empat hari Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates ke China. Dan, menjelang kunjungan Presiden China Hu Jintao ke Washington DC, Amerika Serikat.
Namun, China berupaya agar berita tentang pesawat siluman J-20 itu tidak dibesar-besarkan sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran pada negara-negara tetangga. China pun menyatakan, pembuatan pesawat siluman itu semata-mata untuk memodernisasi kemampuan militernya dalam mempertahankan negaranya yang sangat luas itu. Sama sekali tidak ada niatan pada militer China untuk mengancam negara lain. Kebijakan pertahanan nasional China bersifat defensif.
Menurut militer China, dibandingkan dengan luas wilayah negara dan jumlah penduduknya, kekuatan militer China tergolong moderat. Bahkan, lemah apabila dibandingan dengan kekuatan militer negara-negara Barat. Militer China jangan dilihat sebagai tengah mencari hegemoni, memperbesar kekuatan militer, maupun perlombaan senjata. Militer China bukan ancaman bagi negara lain.
China mengklaim bahwa negaranya selalu membantu menjaga stabilitas dan perdamaian dunia. Apabila terjadi konflik, China selalu mengupayakan penyelesaian secara damai melalui jalur-jalur diplomatik. Perundingan enam pihak yang melibatkan China, Amerika Serikat, Rusia, Jepang, serta Korea Selatan dan Korea Utara untuk membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan konflik kedua Korea itu merupakan salah satu bukti kesungguhan China.
Agar persenjataan nuklir China tidak dibesar-besarkan hingga berkembang tidak terkendali, China mengundang Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates untuk berkunjung ke Pusat Komando Nuklir China. Dalam kunjungannya ke Pusat Komando Nuklir China, Gates mendapatkan gambaran singkat mengenai komando strategis nuklir dan kebijakan nuklir China.
Menurut Gates, dalam kunjungan itu, China sempat membicarakan tentang strategi nuklir dan pendekatan menyeluruh China terhadap konflik, termasuk kebijakan China untuk tidak menggunakan senjata nuklir untuk serangan pre-emptive (serangan untuk mematahkan serangan). ”Pembicaraan di tempat itu berlangsung cukup terbuka,” ujar Gates. Ia menambahkan, dalam kunjungannya, Jenderal Jing Zhiyuan, Komandan Pasukan Nuklir China, menerima undangannya untuk berkunjung ke Pusat Komando Strategis Amerika serikat di Nebraska.
Baik China maupun Amerika Serikat sama-sama memiliki misil jarak jauh yang dapat menjangkau garis pantai masing-masing, tetapi kedua negara menegaskan bahwa mereka tidak berniat untuk menggunakannya.
Bukan lagi yang lamaMiliter China bukan lagi militer China yang lama, yang mengandalkan jumlah prajurit. China telah berubah menjadi salah satu negara industri besar, karena itu dengan sendirinya postur militer China pun berubah menjadi militer yang modern.
Pada akhir tahun 2005, China baru saja menyelesaikan putaran terakhir pengurangan personel sebanyak 200.000 orang. Dengan pengurangan tersebut, personel Angkatan Bersenjata China berjumlah sekitar 2,3 juta orang. Dengan memasukkan milisi dan pasukan cadangan, jumlah total personel Angkatan Bersenjata China mencapai 3,2 juta. Dan, dalam memodernisasi kemampuan angkatan bersenjatanya, China mendapatkan bantuan dari Rusia.
Keberhasilan China mengirimkan orang keluar angkasa dengan pesawat ruang angkasa Shenzou 5, dan kembali dengan selamat di Bumi, menjadikan China dapat disejajarkan dengan Rusia dan Amerika Serikat. Rusia pertama kali menerbangkan Yuri Gagarin dengan dengan pesawat Vostok pada 12 April 1961, diikuti Amerika Serikat yang menerbangkan John H Glenn Jr dengan pesawat Mercury-Atlas Friendship 7 pada 20 Februari 1962. China mengirimkan Yang Liwei ke ruang angkasa dengan pesawat Shenzou 5 pada 15 Oktober 2003.
Memang, dibandingkan dengan Rusia dan Amerika Serikat, China tertinggal 40 tahun, tetapi dari 195 negara di dunia saat ini, China adalah nomor tiga, suatu prestasi yang tidak dapat dianggap remeh.
Disebut-sebut, China ”mencuri” teknologi stealth dari pesawat Amerika Serikat yang ditembak jatuh oleh misil Serbia tahun 1999 dalam perang Kosovo. Namun, China membantah hal itu. Lepas dari hal itu benar atau tidak, tetapi dalam industri pesawat terbang China memang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Di masa lalu, di masa Perang Dingin, dengan bekerja sama dengan Rusia (dulu Uni Soviet), China memproduksi pesawat tempur MiG. Pada tahun 2006, China yang membeli pesawat tempur terbaru dari Rusia, termasuk pesawat multiperan Su-30MKK dan pesawat pemukul maritim Su-30MK2, guna melengkapi pesawat tempur Su-27 yang sudah lebih dulu ada. Dan, pada saat itu, China tengah memproduksi versi sendiri dari Su-27SK, F-11, di bawah lisensi Rusia. Bahkan, diberitakan bahwa tahun sebelumnya, China tengah mengupayakan negosiasi ulang kesepakatan untuk memproduksi pesawat multiperan Su-27SMK.
Bukan itu saja, pada tahun 2010, China juga memproduksi pesawat berbadan lebar Airbus A320 di kawasan industri yang baru dikembangkan di Tianjin Binhai. Kawasan industri baru di Tianjin Binhai itu akan menjadi pusat industri penerbangan dan dirgantara, petrokimia, dan energi alternatif.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada akhirnya China dapat membuat pesawat siluman J-20 yang diuji terbang pada 10 Januari lalu. Sebagaimana diberitakan, uji terbang itu berlangsung sukses. Namun, yang masih harus diuji coba adalah seberapa siluman pesawat tersebut, atau seberapa besar kemampuan pesawat itu bersembunyi dari deteksi radar.
Secara umum, sosok pesawat tersebut bisa dikatakan mirip pesawat yang dibuat Amerika Serikat dan Rusia, seperti F-22 Raptor, F-35 Lightning II, dan prototipe Sukhoi T-50. Namun, badan pesawat J-20 lebih panjang dibandingkan dengan F-22 Raptor. Sekilas mengingatkan pada desain pesawat YF-23 buatan Northrop/McDonnell Douglas yang kalah tender dengan F-22 pada program pengadaan pesawat tempur masa depan AS. Badan yang panjang ini menimbulkan dugaan bahwa pesawat tersebut memiliki daya jelajah dan kemampuan membawa senjata lebih besar dibandingkan Raptor.
Disebut-sebut bahwa pesawat siluman J-20 ini akan mulai dioperasikan oleh Angkatan Udara China paling cepat pada tahun 2017. Pesawat itu disebut mampu mencapai kawasan Guam milik AS di tengah Samudra Pasifik dan akan dipersenjatai dengan rudal-rudal berkemampuan tinggi.
Para pejabat militer Amerika Serikat sendiri tidak khawatir bahwa J-20 akan menjadi ancaman bagi F-22 Amerika Serikat dalam waktu dekat. Pertama, masih belum jelas kapan pesawat siluman itu akan dioperasikan. Kedua, mengembangkan kemampuan siluman dengan prototipe, dan mengintegrasikannya ke lingkungan tempur yang sesungguhnya diperlukan waktu.
Juru bicara Pentagon, Kolonel Dave Lapan, menambahkan, sampai saat ini China masih menghadapi masalah dengan mesin-mesin pesawat tempur generasi sebelumnya. ”Menurut perkiraan kami, China baru akan mengoperasikan pesawat tempur generasi kelima sekitar akhir dekade ini,” katanya.
Pertanyaan yang tetap menggantung adalah benarkah modernisasi militer China berbahaya bagi negara-negara tetangganya? Jawabannya bisa macam-macam, tergantung siapa yang menjawabnya. Jika Amerika Serikat yang menjawab, maka jawabannya adalah modernisasi militer China akan berbahaya bagi negara-negara tetangganya dan bagi militer Amerika Serikat di Pasifik.
Namun, sesungguhnya, modernisasi militer China diperlukan untuk mengimbangi kekuatan militer Amerika Serikat di Asia Pasifik. Membiarkan Amerika Serikat menjadi satu-satunya kekuatan penentu di Asia Pasifik tidaklah bijaksana. Sebaliknya, membiarkan China menjadi satu-satunya kekuatan penentu di Asia Pasifik juga tidak baik. Diperlukan keseimbangan yang baik di antara dua kekuatan besar di Asia Pasifik itu.
Mengenai hubungan China dengan Taiwan diperkirakan tidak akan ada yang berubah, sejauh Taiwan tidak melakukan tindakan atau mengambil kebijakan yang membahayakan dirinya sendiri. Jika Taiwan tetap memelihara keadaan status quo seperti saat ini, maka keadaannya akan baik-baik saja. Keadaan akan runyam jika Taiwan memutuskan untuk secara resmi memisahkan diri dari China dengan mendeklarasikan kemerdekaannya. Mengingat China sudah mengesahkan Undang-Undang Antipemisahan yang membenarkan penggunaan cara-cara nondamai terhadap Taiwan apabila semua cara damai mengalami jalan buntu.
Amerika Serikat—yang berhubungan baik dengan China, mempunyai perjanjian untuk membantu Taiwan membela diri apabila diserang oleh China—tidak memiliki pilihan lain kecuali mendorong China dan Taiwan untuk sama-sama menjaga status quo.
Sumber:
KOMPAS