JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah kalangan mengaku sangat kecewa dengan isi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait isu kedaulatan wilayah RI dan harga diri bangsa menyusul insiden yang kembali terjadi dengan negara tetangga, Malaysia, pada 13 Agustus 2010.
Kebanyakan dari mereka menilai isi pidato Presiden SBY, Rabu (1/9/2010) malam, malah justru memosisikan Indonesia semakin tersubordinasi di bawah Malaysia, yang berdampak pula posisi tawar Indonesia dalam menghadapi proses perundingan kawasan yang masih dipersengketakan dengan negara itu.
Pidato tadi juga dianggap menunjukkan pernyataan seorang kepala negara yang berada dalam posisi tersandera. Hal itu terlihat dari sejumlah alasan yang dilontarkan seperti mempertimbangkan keberadaan para tenaga kerja Indonesia, nilai investasi negeri jiran itu di Indonesia, dan juga soal posisi Indonesia di ASEAN.
Penilaian itu terangkum dari pernyataan sejumlah pihak, seperti dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Andi Widjojanto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, dan Ray Rangkuti dari Lingkar Madani Indonesia, Kamis.
”Karena pidato Presiden Yudhoyono kemarin menginginkan percepatan proses perundingan, maka hal itu menjadikan posisi kedua negara tidak berimbang. Elemen waktu menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi Malaysia sehingga sangat mungkin dalam perundingan nanti mereka bisa saja menjadikannya terhambat di sana-sini,” ujar Andi.
Seperti diwartakan, proses perundingan kawasan perbatasan dengan Malaysia dipercepat menjadi 6 September 2010 dan diadakan di Kinabalu, Malaysia. Percepatan menyusul insiden yang terjadi di wilayah perairan sebelah utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau, 13 Agustus lalu.
Andi menambahkan, sebagai tuan rumah, Malaysia bisa menentukan agenda setting serta mengendalikan jalannya perundingan seperti agenda pembicaraan, siapa akan berbicara terlebih dahulu dan apakah akan ada waktu bagi kedua delegasi melakukan proses lobi.
Sikap lembek Pemerintah Indonesia juga tampak ketika dalam pidato, Presiden Yudhoyono tidak bersikap terkait fakta surat resminya terdahulu sampai sekarang belum kunjung dibalas secara resmi oleh Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak.
”Padahal, dia (Presiden SBY) punya pilihan, memperkeras posisi Indonesia dan meningkatkan retaliasinya, atau ya silakan tiru saja omongan para tokoh peraih hadiah Nobel Perdamaian dunia. Dari pidato itu, Malaysia akan membaca Indonesia hanya ingin kompromi,” ujar Andi.
Lebih lanjut, Andi menilai Presiden Yudhoyono salah memilih tempat dengan berpidato seperti itu di Markas Besar TNI. Seharusnya, ketika berpidato di sana, dia bisa mengirim sinyal-sinyal kuat, misalnya dengan mengatakan, untuk memperkuat posisi diplomasi, pemerintah akan menyiapkan angkatan bersenjata yang kuat.
Dengan begitu, akan tampak jelas Indonesia memang tengah memperkuat posisi diplomasinya dengan dukungan kekuatan angkatan bersenjata. Sinyal seperti itu jauh lebih konkret dan tegas ketimbang apa yang disampaikan Presiden Yudhoyono kemarin di Cilangkap.
Kekecewaan juga dilontarkan Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana, yang menurutnya sama sekali tidak tegas, lugas, dan tidak membawa pesan yang jelas, terutama bagi Malaysia. Isi pidato itu sangat jauh dari ekspektasi masyarakat banyak selama ini.
”Pembukaan pidato yang berisi masalah perekonomian seolah hendak menunjukkan betapa rentannya Indonesia jika hubungan kedua negara memburuk. Juga ketika dia menekankan pentingnya percepatan perundingan perbatasan, yang lebih bersifat pepesan kosong karena akan bergantung pada apakah Malaysia setuju atau tidak dipercepat,” ujar Hikmahanto.
Hikmahanto menambahkan, terkait citra Indonesia di ASEAN yang seolah membuat Presiden tidak bisa bertindak tegas, hal itu sama sekali tidak bisa diterima. Dia mencontohkan, Amerika Serikat menjadi penengah Israel-Palestina, tetapi tidak berarti AS tidak bisa keras di Irak dan Afganistan.
Sementara itu, Ray Rangkuti dari Lingkar Madani Indonesia menilai isi pidato tersebut lebih tepat disampaikan seorang Duta Besar Malaysia daripada seorang presiden negara besar seperti Indonesia. Padahal, seharusnya Indonesia mendesak Malaysia meminta maaf. Untuk itu, Ray meminta DPR memanggil Presiden Yudhoyono.
Sumber:
KOMPAS