Belasan ribu pulau dan pesisirnya yang terpanjang di dunia merupakan kekhasan Indonesia. Dorongan untuk ”menghitung” kekayaan alam itu mulai menguat dibayangi ancaman berkurangnya kawasan pantai dan terbenamnya ribuan pulau kecil karena kenaikan muka laut. Selama ini potensi itu sedikit diteliti karena minimnya kapal survei.
Upaya itu mulai dilakukan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional dengan menggunakan kapal katamaran.
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) sejak tahun 1993 telah merencanakan pembuatan peta dasar Lingkungan Pantai Indonesia berskala 1:50.000 sebanyak 1.200 nomor lembar peta (NLP). Tiap NLP berisi peta areal seluas 20 x 20 mil persegi.
Peta dasar Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) meliputi sepertiga wilayah darat dan dua per tiga wilayah laut serta garis pantai sepanjang 104.000 kilometer. Lembaran peta sebanyak itu mencakup wilayah perairan hingga sejauh 12 mil laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia, sesuai dengan ketetapan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
”Sampai saat ini baru terselesaikan sekitar 318 NLP atau 26,5 persen,” kata Agus Santoso, Kepala Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan Bakosurtanal. Kelambanan ini karena tidak tersedianya prasarana kapal yang memadai untuk survei hidrografi guna pemetaan data batimetri (dasar laut) yang diperlukan. ”Selama ini Bakosurtanal harus menyewa kapal-kapal kecil yang sulit bermanuver,” ujar Agus. Kapal riset yang berperalatan lengkap juga tak mampu menjelajah hingga ke dekat pantai.
Kapal katamaran ini memiliki beberapa keuntungan, antara lain dapat menjelajah wilayah pesisir yang relatif dangkal hingga kedalaman 300 meter karena drafnya hanya sekitar satu meter,” kata Agus.
Pengerjaan dari survei pendahuluan sampai dengan penyajian peta butuh waktu hingga sekitar 5 bulan atau 150 hari kalender. ”Di beberapa lokasi sering melebihi batas waktu tersebut, antara lain, karena kerusakan kapal dan cuaca buruk,” ujarnya.
Selama ini, survei lamban dilaksanakan karena tidak tersedianya prasarana kapal yang memadai.
Katamaran
Masalah itu dapat diatasi dengan menggunakan kapal survei katamaran ini yang kini dimiliki dan dioperasikan Bakosurtanal, mulai tahun ini. Kapal Katamaran yang berlambung atau berlimas ganda itu adalah rancangan ahli dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
”Swakelola kapal ini memungkinkan cakupan wilayah yang lebih luas sehingga menghasilkan NLP lebih banyak dan data batimetri lebih baik resolusi serta kualitasnya,” kata Kepala Bakosurtanal Rudolf W Matindas. Hal ini jadi mungkin karena faktor kelengkapan sarana pemrosesan data dapat dilakukan langsung di atas kapal.
Kapal survei Bakosurtanal yang dinamai Tanjung Perak ini terbuat dari bahan Fibre Reinforced Plastic (FRP), dengan spesifikasi umum, antara lain panjang 22,4 meter, lebar 7,7 meter, dengan kecepatan jelajah 12 knot, dan jarak jelajah 20 mil laut. Kapal berbobot mati 70 ton ini dapat menampung 20 orang.
Meskipun tergolong berkapasitas kecil, kapal ini memuat peralatan yang lumayan lengkap untuk keperluan survei dan navigasi. Beberapa fasilitas dan peralatan itu hasil kerja sama Bakosurtanal dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Peralatan kapal survei khususnya untuk navigasi laut meliputi, antara lain radar, GPS (Global Positioning System), sonar, peta elektronik, sensor angin, radio komunikasi, dan ploter peta. Di samping itu juga dilengkapi dua perahu kecil yang dapat digunakan untuk kepentingan search and rescue (SAR) sekaligus untuk survei di wilayah perairan dangkal.
Pada tahun ini, kata Agus, akan ada penambahan alat-alat survei hidrografi ataupun oseanografi, seperti echosounder multibeam untuk laut dalam, motion sensor, perangkat lunak navigasi, dan GPS digital berbasis koreksi dari satelit. Direncanakan ada pengadaan peralatan, seperti subbottom profiler, magnetometer, dan giro kompas.
Dengan sarana yang ada, kapal katamaran ini juga dapat melaksanakan survei geoteknik meliputi pengambilan sampel dasar laut menggunakan grab sampler, ataupun drop coring.
Uji coba kapal Tanjungperak ini, lanjut Matindas, dilakukan di Karang Lamtari, di Perairan Laut Utara Marina, Ancol, Jakarta Utara, dan hasilnya baik.
Program percepatan
”Dengan adanya fasilitas kapal survei hidrografi ini, program percepatan pengadaan data spasial kelautan, khususnya di wilayah pantai, bisa dipercepat penyelesaiannya,” ujar Matindas.
Bakosurtanal telah menyusun Rancangan Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 yang intinya, selain program pemanfaatan kapal survei untuk perolehan data batimetri, juga program pembiayaan operasional dan pemeliharaannya.
Ketua Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB Eka Djunarsjah menambahkan, untuk mendukung survei kelautan di Indonesia pihaknya bekerja sama dengan Bakosurtanal dalam pembuatan spesifikasi teknik survei hidrografi. Pihak ITB juga akan mendukung Bakosurtanal melaksanakan percepatan pembuatan peta lingkungan pantai Indonesia. ”Saat ini kurang dari 20 persen lingkungan wilayah pantai di Indonesia yang terpetakan,” kata Eka.
Peta itu diperlukan pemerintah daerah karena memiliki nilai strategis untuk pengembangan pemanfaatan wilayah serta sumber daya pesisir dan laut.
Menurut Matindas, beberapa tugas yang belum diselesaikan Bakosurtanal adalah pembuatan peta dasar kelautan seluruh Indonesia, terutama peta batimetri laut dalam. ”Ini perlu penanganan jangka panjang mengingat Indonesia memiliki panjang garis pantai lebih dari 100.000 kilometer dan luas laut 6,279 juta kilometer persegi,” ujarnya.
Sumber:
KOMPAS