Pengesahan ini dilakukan dalam sidang paripurna yang digelar pada Selasa (26/6). Wakil Ketua Komisi I Tubagus Hasanuddin menyebutkan bahwa setelah melalui rapat kerja, rapat dengar pendapat dengan pemerintah serta pandangan fraksi-fraksi dalam pembahasan ke-dua RUU tersebut, Komisi I memutuskan pelaksanaan kedua perjanjian bilateral dengan dua negara itu dalam bentuk Peraturan Presiden (PP).
Hasanuddin menjelaskan bahwa Komisi I DPR memilih untuk tidak menetapkan pelaksanaan kedua perjanjian bilateral dalam bentuk undang-undang (UU) karena beberapa sebab. Di antaranya adalah berdasarkan UU nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa pengesahan merupakan perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi.
Alasan kedua, pasal 10 UU nomor 24 tahun 2000 menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan UU apabila berkenaan dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara. Selain itu, ratifikasi dilakukan dengan UU apabila berkenaan dengan perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI. "Pengesahan perjanjian internasional dengan UU juga harus berkenan dengan kedaulatan atau hak berdaulat negara, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, pinjaman dan atau hibah dari luar negeri," tutur Hasanuddin dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (26/6).
Selain itu, Hasanuddin juga menyebut dalam pasal 11 UU nomor 24 tahun 2000, juga dijelaskan bahwa pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk dalam pasal 10, dilakukan dengan keputusan Presiden. Dalam penjelasan pasal ini dijelaskan bahwa jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini di antaranya adalah perjanjian yang menyangkut kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, penghindaran pajak berganda dan kerja sama perlindungan penanaman modal serta perjanjian yang bersifat teknis.
"Pengesahan pelaksanaan kedua perjanjian internasional dilakukan dalam bentuk Peraturan Presiden, sesuai dengan pasal 7 UU nomor 11 tahun 2012 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang menggantikan UU nomor 10 tahun 2004 tentang peraturan pembentukan perundang-undangan," kata Hasanuddin.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini juga berharap agar kedua perjanjian bilateral ini dapat berkontribusi dalam upaya peningkatan dan pemberdayaan industri strategis pertahanan yang saat ini merupakan isu prioritas yang menjadi perhatian terutama di Komisi I DPR. Sementara itu, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dalam pandangan pemerintah menyebut bahwa perjanjian antara Indonesia dengan Ceko dan memorandum saling pengertian dengan Italia, merupakan pencapaian penting dalam rangka hubungan kerja sama antar negara khususnya kerja sama mengenai logistik, peralatan dan industri pertahanan. Dengan diimplementasikannya perjanjian ini, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, kekuatan dan kemampuan militer Indonesia dan mampu merevitalisasi industri strategis nasional.
"Kedua RUU ini telah dibahas oleh pemerintah dan disampaikan oleh DPR dan Presiden. Pemerintah menyetujui pendapat DPR untuk meratifikasi kedua perjanjian melalui peraturan Presiden," kata Purnomo.
Sumber : KONTAN
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment