Pelat dibentuk menjadi komponen sayap pesawat terbang jenis Boeng. Dipisahkan dinding penyekat,mesin-mesin berteknologi tinggi dioperasikan membuat komponen lain dari pelat alumunium setebal lebih dari 5 cm.Deru mesin memaksa orang yang ada di sana harus berbicara lebih kencang dari biasanya. Pabrik pembuatan pesawat terbang itu sedang mengerjakan pesanan dari Boeng untuk pembuatan sejumlah komponen pesawat di antaranya sayap.
Aktivitas di sana,Selasa (1/11) lalu itu tidak seramai ketika Prof BJ Habibie masih memimpin industri pesawat terbang kebanggaan Tanah Air tersebut.Pabrik rata-rata bekerja untuk membuat komponen pesawat pesanan perusahaan asing. Berbagai jenis helikopter maupun pesawat yang dulu diproduksi dari tempat ini sudah tidak dibuat lagi.Bukan karena kemampuan sumber daya manusia yang tidak memadai,melainkan lisensi untuk membuat helikopter dan sebagian besar pesawat terbang telah habis.
Jumlah karyawan pun berkurang drastis dari belasan ribu orang tinggal beberapa ribu saja,termasuk para ahli. “Mereka lama-lama menjadi ‘sastra teknik’.Mereka orang teknik,tapi hanya membaca tidak pernah praktik membuat pesawat.Jadi seperti sastrawan,”kata Direktur Teknik dan Pengembangan PT DI Dita Ardoni Safri. Ribuan orang tenaga ahli yang terpaksa hengkang dari PT Dirgantara Indonesia sekarang tersebar di berbagai industri yang masih ada kesesuaian dengan keahlian mereka.Bahkan ada pula yang bergabung ke industri penerbangan di luar negeri.
Mereka yang masih bertahan menantikan ada proyek pembuatan pesawat terbang untuk menjaga dan mengasah kemampuan yang dimiliki.Jika dalam dua tahun tanpa proyek pembuatan pesawat,kemampuan membuat rancang bangun pesawat yang mereka miliki dikhawatirkan akan hilang. Dia khawatir,jika tak ditempa dengan pengalaman, generasi muda belum sempat belajar dari pengalaman generasi tua yang sudah keburu pensiun.“Tanpa proyek pembuatan pesawat, kita hanya akan jadi bangsa pedagang,”kata Ardoni.
Sayangnya,hal itu tidak mudah untuk dapat diwujudkan karena beragam kendala menghadang.Soal tidak ada lisensi hanya salah satu. Kendala yang sebetulnya lebih serius adalah tidak ada pemesanan pesawat ke industri tersebut secara ideal.Sementara perusahaan tidak mungkin untuk lebih dulu membuat pesawat kemudian memasarkannya. Proses membuat pesawat butuh biaya yang amat mahal,sementara kemampuan keuangan PT Dirgantara Indonesia sangat terbatas.
Di berbagai negara yang memiliki industri penerbangan, mereka menyiasatinya dengan pemesan dari pemerintah.Pemesanan untuk jumlah yang cukup banyak dengan durasi waktu yang lama mengingat proyek pembuatan pesawat tidak mungkin dikerjakan dalam waktu singkat. Jumlah pemesanan dari pemerintah ini senilai minimal sama dengan ongkos produksi perusahaan.
Pesawat yang dipesan biasanya dijual kembali oleh pemerintah, sehingga mereka juga melaksanakan fungsi promosi yang sangat bermanfaat bagi pengembangan industri penerbangannya.
Sumber : Seputar Indonesia
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment