Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.504 lebih dan garis pantai 81.000 kilometer, Indonesia mempunyai batas maritim dengan 10 negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Batas maritim tersebut terdiri dari batas laut wilayah (laut territorial), Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) dan Batas Landas Kontinen. Penetapan batas maritim tersebut bukan tanpa dasar akan tetapi sesuai ketentuan hukum laut internasional dengan berpedoman pada United Nations of Convention on Law of the Sea 1982 (UNCLOS 82) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI melalui UU No. 17 tahun 1985.
Persoalan penetapan perbatasan negara maritim dengan negara tetangga hingga saat ini belum tuntas, akan menjadi konflik dikemudian hari. Sebagai contoh, kita kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan setelah mahkamah konstitusi Internasional pada 17 Desember 2002 memutuskan Negeri Malaysia sang pemilik asli. Selanjutnya, persoalan Ambalat dan Tanjung Datu menghiasi rangkaian masalah perbatasan antara negara RI – Malaysia.
Prof. Dr.Ono Kurnaen Sumadiharga Guru Besar Oseanografi Universitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) menyampaikan sebanyak 92 pulau terluar di Indonesia saat ini perlu diamankan karena sangat berpeluang diambil alih oleh pihak asing. Pulau-pulau tersebut lokasinya tersebar dari Aceh hingga Papua yang berada cukup jauh dari garis pantai wilayah yang berpenduduk serta sebagian belum memiliki nama (Analisa, 25/05/09).
Keseriusan Pemerintah
Persoalan perbatasan wilayah harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. Saat ini terdapat dua belas pulau yang berbatasan langsung dengan negara tetangga yang senantiasa berpeluang terjadi konflik perbatasan. Kedua belas pulau tersebut sebagai berikut: Pertama, Pulau Rondo. Pulau yang berada di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ini berbatasan dengan negara India. Kedua, Pulau Berhala yang berada di wilayah Propinsi Sumatera Utara, pulau ini berbatasan dengan negara Malaysia. Ketiga, Pulau Nipah di wilayah Propinsi Riau, berbatasan dengan Singapura. Pulau ini nyaris tenggelam saat pasang tinggi, sebagai akibat dari penambangan pasir laut di wilayah tersebut. Keempat, Pulau Sekatung di wilayah Propinsi Riau perlu mendapat perhatian khusus mengingat letaknya yang berdekatan dengan negara Vietnam.
Kelima, Pulau Marore, Miangas dan Marampit. Ketiga pulau yang terletak di wilayah Propinsi Sulawesi Utara ini berbatasan langsung dengan Philipina. Penduduk di ketiga pulau tersebut sering berinteraksi dengan penduduk Philipina, bahkan sebagian besar kebutuhan pokok masyarakat setempat diperoleh dari negara tetangga tersebut. Keenam, Pulau Fanildo, Pulau Brass dan Pulau Fani. Ketiga pulau tersebut berada di wilayah Propinsi Papua dan berbatasan langsung dengan negara Palau. Ketujuh, Pulau Batek dan Pulau Dana. Kedua pulau ini terletak di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur dan berbatasan dengan negara Timor Lorosae.
Polemik perbatasan tidak akan berakhir, jika kemampuan pertahanan negara sangat lemah, khususnya pertahanan negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan kita memerlukan peran kekuatan TNI AL di laut demi menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta penegakan hukum di laut nusantara. Kekuatan Angkatan Laut merupakan salah satu bagian penting dari potensi nasional. Untuk itu pemerintah harus menyiapkan alut sista yang tangguh dan modern. Alutsista yang dimiliki TNI Angkatan Laut saat ini sebagian besar telah berusia tua, tidak sepadan lagi dengan nilai gunanya. Dari jumlah alutsista yang dimiliki saat ini, 41% berusia 25-50 tahun dan 5% berusia di atas 50 tahun.
Sesuai dengan persyaratan, usia 30 tahun adalah batas usia bagi kapal untuk laik laut, khususnya untuk kapal perang pada usia tersebut "combat capability-nya" menurun. Seiring Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Kep/2/II/2006 tanggal 27 Februari 2006 tentang Kebijakan Strategis Kasal dalam Mewujudkan Postur TNI Angkatan Laut sampai dengan tahun 2024, diharapkan kekuatan yang digunakan meliputi 274 KRI, 137 Pesud dan 890 Ranpurmar.
Pertanyaannya, seriuskah pemerintah merealisasikan anggaran dalam rangka membangunan perkuatan TNI AL?. Presiden RI, Soesilo Bambang Yudhoyono, mengatakan anggaran TNI tahun 2012 akan naik menjadi 35%. Dari Rp 47,5 Triliun pada tahun 2011 menjadi Rp 64,4 Triliun tahun 2012. Kenaikan anggaran tersebut diperlukan untuk menlanjutkan modernisasi alutsista dan membiayai perawatan senjata (Viva news.com 05/10/2011).
Khusus pengadaan alutsista bagi TNI AL pemerintah melalui Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 bagian Pertahanan dan Keamanan serta Iptek menganggarkan Program Modernisasi Alutsista dan Non Alutsista sebesar Rp 25,745 triliun dengan pembagian sebagai berikut: Peningkatan kemampuan KRI, KAL, Ranpur dan Rantis Rp 657,3 milyar. Pengadaan Pesud dan sarana prasarana Penerbangan TNI AL Rp 159,7 milyar dan percepatan pengadaan Alutsista Strategis Matra Laut Rp 20,316 trilyun.
Bagaimanapun, mengamankan wilayah laut nusantara yang luasnya mencapai 5,8 juta km persegi sudah harga mati. Bapak Proklamator Ir. Soekarno dalam National Maritime Convention I (NMC) 1963 mengatakan: ‘’Membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, dan negara damai merupakan National Building bagi Indonesia. Negara menjadi kuat jika dapat menguasai lautan, menguasai lautan harus menguasai armada".
Berbasis Maritim
Di era abad 21 negara-negara besar di dunia saling berlomba dalam meningkatkan kekuatan maritim, akibatnya muncul slogan-slogan Ocean Policy (Kebijakan Kelautan). Amerika Serikat membangun kekuatan maritim dengan slogan "kekuatan maritim melindungi cara hidup Amerika", lahirlah A Cooperative Strateggy for 21st Century Sea Power. China membangun Ocean Policy dengan strateginya Chain of Pearl yang bertujuan untuk membangun dan menyelamatkan urat nadi perdagangannya lewat laut. India terkenal dengan Freedom to Use the Seas: maritime Military Strategy bertujuan meningkatkan pembangunan kekuatan angkatan laut India. Inggris juga bersemboyan Britain Rules the Waves bertujuan untuk membangun kekuatan maritim Inggris.
Bagaimanakah dengan Indonesia? Negara kepulauan Indonesia adalah "Negara Bahari", Indonesia adalah "Negara Maritim" dan Indonesia "Berjiwa Bahari" serta "Nenek Moyangku Orang Pelaut.". Tetapi tidak mudah untuk menuju dan membangun Negara yang berbasis maritim, melalui kebijakan dan regulasi yang ketat. Indonesia memiliki modal dasar, Deklarasi Djuanda 1957 dan UNCLOS 1982 memberikan peluang bagi bangsa Indonesia untuk senantiasa menggalakkan kebijakan-kebijakan pembangunan nasional dengan memprioritaskan orientasi yang berbasis maritim.
Saatnya Indonesia berpaling pada kekuatan sebagai negara maritim, sebagai tindak lanjut konsep negara kepulauan. Negara Maritim Indonesia yang menguasai semua kekuatan strategis didukung oleh kekuatan maritim meliputi armada militer, armada niaga, industri maritim serta kebijakan pembangunan yang berbasis maritim.
Oleh karena itu perlu komitmen para pemimpin bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang menitikberatkan pembangunan kearah negara maritim yang besar dan kuat serta disegani dunia Internasional. Son Diamar (2001), menyampaikan lima pilar yang dijadikan pengamanan dan penguatan wilayah maritim Republik Indonesia secara terpadu. Pertama, peneguhan pemahaman terhadap wawasan maritim, hal ini dilakukan dengan menumbuhkan kembali kesadaran geografis. Kedua, penegakan kedaulatan yang nyata di laut. Pilar ini dapat dibangun dengan sistem pertahanan (defense), keamanan (constabulary) dan pengendalian (civilian monitoring, control & surveillance), beserta penegakkannya (enforcement) yang utuh dan berkesinambungan.
Ketiga, pembangunan industri maritim. Pilar ini memberikan kontribusi akan keberadaan negara maritim yang modern dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan iptek tersebut teraplikasikan melalui penelitian, pengembangan dan penerapan iptek dalam bidang industri maritim. Keempat, meletakkan pentingnya penataan ruang wilayah maritim.
Kondisi ini diharapkan terciptanya tata ruang yang terpadu antar daerah pesisir, laut dan pulau-pulau untuk menghasilkan sinergi dan keserasian antar daerah/kawasan antar sektor dan antar srata sosial yang berwawasan lingkungan. Kelima, penegakan sistem hukum maritim. Penegakan dapat dibangun dengan ocean policy yang lengkap, mulai dari yang bersifat undang-undang pokok atau payung hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata yang mengakomodasikan hukum adat. Sebagai Negara maritim terbesar Indonesia perlu memiliki sistem peradilan (mahkamah) maritim.
Kelima pilar tersebut tidak terpisahkan, tetapi memberikan pemahaman yang saling mendukung dan menguatkan. Salah satunya upaya kongkrit dengan menetapkan Rancangan Undang-Undang Kelautan. Menurut Kasal Laksamana TNI Soeparno, keberadaan aturan tersebut sangat penting terutama bagi TNI AL sebagai salah satu dasar hukum dalam menegakkan kedaulatan negara dan hukum di laut Indonesia.
RUU Kelautan juga diharapkan memiliki visi maritim, sebagai upaya sungguh-sungguh mengembalikan Indonesia sebagai Benua Maritim. Mahan menyatakan dalam karyanya berjudul The Influence of Sea Power Upon History (1660-1783), laut menjadi salah satu faktor mempertahankan eksistensi suatu negara, barang siapa yang menguasai laut maka akan menguasai dunia. Artinya, untuk menjaga dan menegakkan keamanan wilayah laut nusantara Indonesia kita harus mempunyai kekuatan armada militer (TNI AL) yang handal, kuat dan tangguh sehingga disegani oleh lawan.
Sumber : Harian Analisa
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment