Sumber yang tak disebut namanya itu mengatakan kepada Reuters bahwa Presiden Brasil Dilma Rousseff dan para penasihat utamanya meyakini tawaran pabrikan Dassault Aviaton untuk menjual sedikitnya 36 unit Rafale merupakan tawaran terbaik daripada dua tawaran lainnya. Pesaing Rafale dalam persaingan di Brasil ini adalah pesawat jet tempur F/A-18E/F Super Hornet buatan Boeing dari Amerika Serikat dan jet tempur Gripen buatan Saab dari Swedia.
Roussef sempat ragu memilih Rafale karena belum ada negara lain di dunia yang membeli pesawat tersebut. Namun, keputusan India memilih Rafale untuk masuk dalam proses negosiasi lanjutan, akhir Januari lalu, membuat Roussef teryakinkan lagi.
Bahkan, ia sudah mengirim Menteri Pertahanan Brasil Celso Amorim ke New Delhi, pekan lalu, untuk membicarakan alasan India memilih Rafale dan mempelajari dokumen penawaran Dassault kepada AU India. India berencana membeli 126 jet tempur yang sudah teruji dalam pertempuran di Libya tahun lalu itu.
Dari segi harga, Super Hornet buatan Boeing akan menjadi pesawat paling murah dibandingkan Rafale atau Gripen. Namun, pertimbangan Brasil tidak hanya menyangkut harga, tetapi juga kesediaan negara pembuat pesawat itu melakukan transfer teknologi pesawat tempurnya sehingga akan mendukung industri dirgantara dalam negeri Brasil.
AS selama ini dikenal pelit menjual teknologinya kepada negara lain. Brasil juga pernah punya pengalaman pahit dengan AS yang melakukan veto terhadap rencana Brasil menjual pesawat tempur ringan Super Tucano buatan pabrikan Embraer asal Brasil ke Venezuela pada 2006 dan 2009. AS bisa menghalangi transaksi tersebut karena pesawat-pesawat Embraer mengusung teknologi buatan perusahaan-perusahaan asal AS.
Sumber : KOMPAS
Berita Terkait:
1 komentar:
sebuah pelajaran yang layak untuk diingatbukan hanya Embraer tapi juga PT. DI.
Post a Comment