Jakarta - Akademisi pun mendukung pengadaan tank Leopard. Rektor Universitas Pertahanan Syarifudin Tippe mengatakan, rencana Kementerian Pertahanan untuk membeli tank Leopard sudah diteliti secara menyeluruh kesesuaiannya dengan kondisi geografis Indonesia.
"Pengadaan tank Leopard sudah dipertimbangkan. Dari sisi tugas, medan dan kemampuan belinya, semua sudah dipertimbangkan masak-masak," ujar Syarifudin dalam jumpa pers di Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Rencana pembelian 100 unit tank jenis berat untuk TNI-AD menuai kontroversi melalui tentangan anggota Komisi I DPR yang menganggap bahwa tank seberat 63 ton itu tidak sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang merpakan negara kepulauan.
Syarifudin juga menambahkan, tank Leopard buatan Jerman itu didesain untuk segala medan karenanya akan sesuai dengan medan yang ada di Indonesia.
Menurutnya, akan salah bisa memproyeksikan tank jenis ini untuk hanya akan ditempatkan di Jakarta dan tidak bisa dipindahkan ke daerah lain karena kondisi jalan dan jembatan yang tidak akan kuat menahan beban berat tank tersebut.
"Kita kan tidak perlu perbaiki jembatan dulu baru beli Leopard. Sebab (kalau tidak), terlambat jadinya. Kami sudah pertimbangkan secara akademis dengan kemampuan median di Indonesia," ujarnya, seraya menambahkan bahwa rencana pembelian itu sudah dianalisis dari berbagai sudut.
Sementara itu, sudah ada penelitian dari aspek kegunaan dan keunggulan, tidak serta merta membeli, ini juga strategi untuk modernisasi karena Angkatan Darat sudah berubah, tidak lagi manusia dipersenjatai.
“Sudah ada penelitian dari aspek kegunaan dan keunggulan, tidak serta-merta membeli, ini juga strategi untuk modernisasi karena Angkatan Darat sudah berubah, tidak lagi manusia dipersenjatai,” ujar Puguh.
Puguh mengatakan bahwa ketika membandingkan beberapa macam tank tempur utama dari beberapa produsen, Kemenhan, sebagai calon pembeli dan yang telah menyediakan dana sebesar 280 juta dollar Amerika untuk itu, menemukan bahwa tank Leopard- yang memiliki spesifikasi teknis dan persyaratan operasional sesuai yang diajukan oleh Angkatan Darat sebagai pengguna dan produsennya membuka kesempatan untuk transfer teknologi.
Kedua hal ini, tambahnya, tidak ditemukan di tank tempur utama lain dan produsennya yang dijadikan pembanding.
Selain itu, tank ini juga merupakan jenis tank yang diunggulkan oleh Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan hingga saat ini belum ada tandingannya dari segi kemampuan tempur.
Puguh mengatakan bahwa tidak ada yang menyangsikan keunggulan Leopard sebagai tank tempur utama.
“Dalam dominasi maneuver, Leopard jagonya karena bisa berada hingga empat meter di bawah permukaan air. Tentara kalau perang tidak lewat jalan tol semua. Leopard ini bisa lewat di semua permukaan,” ujar Puguh.
Bila harus melewati medan yang berupa rawa-rawa dan sungai, Puguh mengatakan hal itu sudah diperhitungkan dan dikoordinasikan oleh tim penunjang dalam operasi penggelaran tank, yang mempelajari konfigurasi wilayah yang akan dilaluinya.
“Perang tidak melibatkan hanya satu angkatan, ada juga amphibi yang digabungkan dengan marinir,” ujar Puguh sambil menambahkan bahwa dalam mendesain strategi pertahanan, kekuatan ketiga angkatan darat, laut, atau udara selalu diintegrasikan.
“Itulah desain strategi pertahanan di negara kepulauan. Kita punya lima pulau besar dengan karakteristik yang berbeda, jangan dibayangkan tank itu selalu lewat jalan raya, kalau sudah perang tidak seperti itu,” ujar Puguh.
Namun Puguh mengatakan, dirinya bisa memaklumi keberatan sejumlah pihak yang mengatakan bahwa tank Leopard tidak cocok dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dan membayangkan kalau “tank lewat jalan raya semua”.
Salah satu alasan keberatan yang disuarakan anggota parlemen adalah bahwa kondisi jalan dan infrastruktur di Indonesia tidak cukup kuat untuk menanggung beban tank tempur seberat 62 ton ini.
“Ada sistem gelar yang akan tentukan posisi tank, akan ada analisis permukaan tanah yang sudah dipertimbangkan, tidak bisa diapriori dan tidak bisa seenaknya, tapi karakteristiknya Leopard atau tank sekelas itu bisa ditempatkan di mana saja,” tambah Puguh, sambil menambahkan bahwa jenis permukaan tanah di Indonesia beragam, dan bahkan tidak sama dalam satu pulau, sehingga dalam rencana penggelaran alat perang darat, karakteristik daratan pulau-pulau di Indonesia tidak dapat semuanya disamakan.
“Ini yang menjadi tuntutan kecerdasan siapapun yang mendesain strategi pertahanan, kita tidak bisa generalisasi,” ujar Puguh, sambil menambahkan bahwa pemikiran strategi itu tidak hanya jadi tanggung jawab pemikiran Kemhan dan TNI, namun juga menjadi tuntutan bagi bangsa Indonesia, terutama dari segi teknologi, untuk mendesain alat tempurnya demi menuju kemandirian sesuai konfigurasi wilayah negara.
Puguh juga mengatakan teknologi yang ada saat ini di Indonesia belum mampu memenuhi itu, namun ada celah yang bisa diambil untuk mencapai kemandirian yaitu dengan alih teknologi melalui pembelian alat tempur dari luar negeri seperti Leopard.
Dengan kesempatan itu, Puguh mengatakan bahwa pada nantinya, PT Pindad sebagai produsen alat tempur yang sudah mampu memproduksi Anoa atau tank angkut personel sedang sesuai standard Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), diharapkan akan bisa memproduksi tank tempur utama seperti Leopard, untuk memenuhi target pencapaian kekuatan pokok minimum hingga setidaknya 70 persen di tahun 2024 yang dibutuhkan TNI untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia.
Sumber : Yahoo
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment