Rame-rame terkait persolan ini muncul setelah Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin menyatakan bahwa pembelian enam Sukhoi seharga 470 juta dolar (4,6 triliyun) itu tidak dilakukan secara langsung antara Kemhan dengan Rosoboron Export selaku BUMN Rusia pemegang monopoli penjualan Sukhoi. Melainkan melalui PT X XX yang bertindak sebagai broker sehingga menyebabkan harganya lebih mahal.
Masyarakat luas di negeri ini, tentu akan sangat menyayangkan bila apa yang diindikasikan TB Hasanuddin benar-benar terjadi. Tapi bagi pebisnis alutsista atau senjata di Indonesia, pasti sangat memahami bahwa berbisnis “mesin perang” dengan Rusia, akan selalu melibatkan perantara atau calo. Tak terkecuali bila pembelian itu dilakukan dengan mekanisme G to G.
Kenapa ini bisa terjadi? Jawabannya, karena orang Rusia tidak mudah percaya pada orang lain, tak peduli bila orang tersebut adalah wakil resmi dari sebuah negara yang mendapatkan tugas untuk melakukan pembelian alusista dengan mekanisme G to G.
Menurut sumber yang berprofesi dalam bisnis alutsista, calo atau orang yang mendapatkan kepercayaan dari pihak Rusia ini, adalah orang Indonesia yang pernah sekolah dan tinggal cukup lama di negara pecahan Uni Soviet itu.
Untuk menemukan siapa sosok negosiator, calo atau broker dalam pengadaan Sukhoi ini, maka hal itu sungguh lebih mudah dilakukan. Karena tak banyak warga negara Indonesia yang pernah sekolah dan tinggal cukup lama di Rusia serta kini berprofesi dalam bisnis alutsista.
Orang ‘beruntung’ ini akan selalu diandalkan pihak Rusia, dalam hal ini Rosoboron Export dalam bernegosiasi dengan pihak pembeli alutsista, termasuk pembelian dengan menggunakan mekanisme G to G. Jangan berharap bahwa tanpa melibatkan orang kepercayaan pihak Rusia itu, pembelian dengan mekanisme G to G akan bisa terealisir, karena itu tidak mungkin terjadi.
Alhasil, dalam setiap pembelian alutsista dari Rusia, bisa dipastikan akan selalu melibatkan perantara, tak terkecuali dengan pembelian Sukhoi SU 30MK-2. Kini yang jadi pertanyaan, bila peran perantara sangat sentral dalam pembelian alutsista ini, lalu dari mana “orang kepercayaan” pihak Rusia ini mendapatkan imbalan dari kerja-kerja yang sudah dilakukannya?
Sangat mudah untuk menjawabnya, bila mekanisme G to G tidak mengenal alokasi dana bagi pihak ketiga, maka Rosoboron Export akan dengan senang hati memberikan imbalan yang pantas bagi si perantara tersebut. Jadi bisa dipastikan, pihak Rusia tak mungkin memberikan harga dasar bagi produk alutsistanya untuk dijual ke pemerintah Indonesia. Akibatnya, mark-up harga alutsista sangat mungkin terjadi.
Tak hanya itu, pembiayaan pengadaan alutsista akan semakin menggelembung apabila sistem pembayarannya menggunakan fasilitas Kredit Ekspor (KE). Ini bisa terjadi karena untuk bisa menggunakan model pembayaran KE, juga dibutuhkan pihak perantara.
Lalu bagaimana dengan tawaran dari Rusia terkait state credit (SC) atau kredit negara senilai US$ 1 miliar dollar? Ini tidak serta merta bisa dijadikan kabar gembira, karena sekali lagi, berurusan dengan Rusia bukan persolan mudah. Karena mekanisme penggunaan SC dari Rusia sangat berbeda realisasinya dengan SC asal negara-negara Barat atau AS.
Karena rumitnya penggunaan SC asal Rusia tersebut, hingga kini sebagian besar fasilitas kredit itu masih belum dimanfaatkan. Tampaknya, pemerintah Indonesia harus membiasakan diri dengan banyak ‘keunikan’ yang dimiliki Rusia. Karena tak bisa dipungkiri, Jakarta akan semakin membutuhkan Kremlin di masa-masa yang akan datang, terutama bila tak mengharapkan lagi adanya embargo senjata, seperti yang pernah dilakukan AS beberapa waktu lalu.
Sumber : ITODAY
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment