Menurut dia,model kerja sama dengan negara lain juga akan didukung undang-undang. “Di situ nanti,negara artinya pemerintah yang dalam hal ini BUMN, boleh bekerja sama dengan negara lain.Tentu dengan memerhatikan kepentingan RI,”ujarnya. Industri strategis nasional diakui berbagai kalangan memerlukan dukungan keuangan dan modal kerja yang tidak sedikit.Aspek ini bahkan menjadi salah satu kendala serius. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro pun pernah menyatakan, butuh dana triliunan rupiah untuk menyehatkan perusahaan yang memproduksi alutsista seperti PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL.
Di dalam revitalisasi industri strategis nasional, sesuai RUU itu, ujung tombaknya adalah Komite Kebijakan Industri Strategis Pertahanan (KKIP). Mereka harus merumuskan dan mengevaluasi kebijakan mengenai masalah ini. Pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menuturkan, bentuk kolaborasi antarnegara ASEAN sebenarnya pernah dilakukan dalam produksi pupuk yang dipusatkan di Aceh.
Kolaborasi itu bermodel investasi bersama untuk mendirikan sebuah perusahaan, namun upaya itu gagal. Karena itu, dia menyarankan agar model kerja sama seperti itu tidak diulangi dalam industri pertahanan. Apalagi masing-masing negara memiliki kebijakan yang berbeda dalam isu ini.“Sinergi saja untuk saling melengkapi. Tinggal diidentifikasi apa saja yang dibutuhkan,” ungkapnya. Menurut dia, tiap negara mestinya mampu memproduksi alutsista sendiri agar tidak mengalami ketergantungan terhadap negara lain.
Sumber: SEPUTAR INDONESIA
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment