Presiden yang tahu persis tentang seluk beluk pengadaan alutsista, termasuk potensi korupsinya (karena dia seorang jenderal purnawirawan TNI) memberi arahan secara lugas, rinci dan sistematis bahwa pengadaan alutsista TNI harus tepat waktu, tepat sasaran dan tepat anggaran.
Senada dengan itu, Menteri Keuangan memperjelas kembali bahwa sampai dengan tahun 2014 telah disediakan anggaran Rp 100 triliun untuk pengadaan alutsista. Yang sedang disiasati saat ini adalah penambahan Rp 50 triliun lagi agar target anggaran yang telah disepakati antara pemerintah dan DPR sebesar Rp 150 triliun bisa tercapai.
Menteri Keuangan sangat berharap agar penyerapan belanja alutsista tepat waktu karena yang terjadi selama ini proses pengadaannya yang bertele-tele, sehingga tahun anggaran terlewati begitu saja.
Kalau mau dirunut, ini adalah puncak rangkaian gelar statemen yang dilakukan oleh para petinggi TNI dan Kemhan. Sebelumnya, di Wates, 1 September 2011, KSAU Marsekal TNI Imam Sufaat mempertegas bahwa proses pengadaan alutsista TNI AU akan dipercepat sehingga tahun 2014 pengawal dirgantara ini sudah memiliki kekuatan alutsista yang kuat bersamaan dengan berakhirnya era SBY.
Kemudian KSAL Laksamana TNI Soeparno dalam sertijab Panglima Armada Timur, 6 September 2011, di Surabaya, menyatakan alutsista TNI AL tahun 2014 akan sesuai dengan target Minimum Essential Force (MEF).
Terbesar
Harus diakui, inilah proyek pengadaan alutsista terbesar setelah era Dwikora, di mana dalam kurun waktu 5 tahun (2010 - 2014) dilakukan penambahan alutsista TNI secara besar-besaran.
Yang menarik adalah dalam pengadaan alutsista itu, di samping mengutamakan industri hankam strategis di dalam negeri, salah satu pola yang dilakukan adalah pola transfer teknologi. Kita membeli alutsista dari luar negeri, namun dengan persyaratan bahwa negara / perusahaan / produsen luar negeri mau memberikan transfer teknologi kepada kita.
Contohnya dalam proses pembuatan kapal jenis light fregat PKR (Perusak Kawal Rudal) saat ini PT PAL melakukan kerja sama dengan Damen Schelde Belanda untuk pembuatan 10 KRI.
Demikian juga pola kerja sama alih teknologi alutsista dengan Korea Selatan. Negeri Park Ji Sung ini mendulang berkah karena tak pelit transfer teknologi sehingga ketiban rezeki devisa (dolar).
Korea Selatan memang sudah memiliki industri alutsista berskala dunia akreditasi A sejak 10 tahun terakhir ini yang semuanya diawali dengan pola kerja sama alih teknologi dengan negara-negara utama penghasil industri alutsista seperti AS, Jerman, Israel, Inggris, dan Prancis.
Walaupun terhitung baru dalam perjalanan industri alutsista dibanding negara-negara tadi, negeri ginseng ini tak pelit ilmu dan mau berbagi jurus dengan Indonesia, misalnya yang sudah terbukti kerja sama pembuatan empat kapal perang jenis Landing Platform Dock (LPD) untuk TNI AL.
Saat ini, berbagai jenis alutsista buatan Korsel yang sudah bermukim di Indonesia selain LPD adalah pesawat latih KT-1 Wongbee, rantis Barracuda untuk Brimob, senapan mesin K3, ranpur amphibi LVT-7, radio panggul VHF dan FM PRC 999KE/C, submachinegun Daewoo K7, truk angkut pasukan sekelas Reo, jip KIA dan upgrade kapal selam KRI Cakra. Yang sedang dinantikan kedatangannya adalah upgrade KRI Nanggala selesai akhir tahun ini, jet latih tempur T-50 golden eagle, panser canon Anoa Tarantula, tank IFV K-21. Yang sedang diriset-kembangkan bersama adalah jet tempur generasi 4.5 KFX.
Dari pola produksi bersama ini nantinya Indonesia akan mendapatkan 50 unit jet tempur dengan kemampuan tempur melebihi kualitas F16. Dan, puncak dari semua kerja sama transfer teknologi alutsista itu adalah dinantikannya proyek prestisius pembuatan 3 kapal selam dalam waktu dekat ini. Kunjungan Menhan Korsel ke Jakarta 8 September 2011 lalu menyiratkan upaya kuat negeri itu memenangkan pertarungan tender pengadaan kapal selam melawan Turki. Yang menarik, Turki dan Korsel sebenarnya masih satu perguruan dalam alih teknologi kapal selam, yaitu berguru pada maestro kapal selam tangguh, Jerman.
Kedekatan Emosional
Nah, kalau mau didolarkan, nilai kerja sama proyek alutsista RI termasuk dengan pola berbagi ilmu tadi, Korsel setidaknya akan mendulang 3,8 miliar dolar AS. Rinciannya 2 miliar dolar AS untuk proyek jet tempur KFX, 1,2 miliar dolar AS untuk proyek kapal selam, 400 juta untuk proyek jet latih tempur T-50, sisanya proyek tank IFV K21, proyek panser anoa tarantula dan upgrade kapal selam KRI Nanggala.
Kedekatan hubungan Korina (Korea - Indonesia) tidak hanya belaku pada sektor alutsista. Barang-barang produk Korsel mulai dari otomotif sampai dengan gadget sudah begitu kita kenal dan pergunakan. Kedekatan lain yang mampu mengikat kedekatan emosional adalah hadirnya beragam jenis sinetron Korea di layar kaca TV kita. Sinetron dari negeri ginseng itu saat ini begitu melekat di mata pemirsa.
Hebohnya lagi, ada satu stasiun TV nasional, Indosiar, yang menayangkan beragam jenis sinetron Korsel dari pagi sampai sore, mestinya namanya ditukar saja dari Indosiar menjadi Indorea (Indonesia - Korea). Tak ketinggalan jua, kiblat model dan gaya grup penyanyi kita, ya prianya ya wanitanya, mengikuti banget gaya artis Korsel.
Nah, kalau yang ini bukan transfer teknologi melainkan transfer mode dan style kontemporer. Ini adalah sebuah fenomena yang jarang terjadi untuk hubungan antarnegara. Ada kerja sama pertahanan yang begitu dekat, ada kerja sama alih teknologi militer, ada kerja sama ekonomi yang sudah akrab duluan, dan sekarang ada pula kerja sama kedekatan emosional dalam dunia hiburan.
Siapa yang tak kenal dengan nama-nama artis Korea yang setiap hari berkunjung via media TV untuk kemudian pemirsa kita terbawa dalam dinamika emosi jalan cerita sinetron.
Suka tidak suka, itulah yang terjadi saat ini. Budaya Korsel memang banyak persamaan dengan Indonesia, menghargai tata krama, tidak arogan, hubungan antar negara dan rakyatnya dibangun dalam konsep kesetaraan. Tenaga kerja Indonesia banyak yang bekerja di Korsel dengan perjanjian kerja yang menghargai konsep kemitraan.
Kedekatan hubungan dengan Korsel itu malah melebihi kedekatan hubungan kita dengan negara tetangga Malaysia. Jadi tak salah kalau kita menyebut kedekatan dan kemesraan hubungan Korina ini seperti moto iklan sebuah perusahaan telekomunikasi: ''begitu dekat, begitu nyata''. Atau, walau jauh di mata, namun dekat di hati.
Sumber : Suara Merdeka
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment