Dana berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) itu sebanyak Rp1 triliun dialokasikan bagi PT Dirgantara Indonesia, sedangkan sisanya diperuntukkan bagi empat BUMN lainnya seperti PT Pal Indonesia, PT Pindad, PT Merpati Nusantara dab PT Industri Kapal Indonesia. Masing-masing BUMN "strategis" itu kebagian sekitar Rp500 miliar.
Sementara, Perum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara yang juga berada di bawah koordinasi Deputi Menteri BUMN bidang Industri Strategis terancam tidak mendapat dana PMN.
Konon tidak dialokasikannya dana PMN untuk Perum Antara, karena kantor berita nasional yang didirikan oleh para pendiri bangsa itu dianggap "bukan industri strategis" atau "belum betul-betul strategis".
Inilah salah kaprah dalam membaca masa depan industri strategis. Pengalokasian dana PMN tersebut jelas menunjukkan bahwa kita masih melihat dan mengutamakan industri strategis itu sebagai "hard power", dan bukan sebagai "soft power".
Padahal, masa depan industri strategis terletak bukan lagi pada kekuatan militer dan senjata, tetapi kepada kekuatan penguasaan informasi dan penyebarluasan ide, gagasan, nilai-nilai, dan kebudayaan.
Guru Besar Ilmu Politik Internasional dari Universitas Harvard Joseph S. Nye Jr membedakan antara kekuatan keras ("hard power") dan kekuatan lembut ("soft power"). "Hard power" adalah kekuatan memaksa pihak lain untuk mengikuti keinginan kita dengan kekuatan senjata. Sedangkan "soft power" adalah kekuatan untuk menarik pihak lain untuk mengikuti keinginan kita dengan sukarela tanpa paksaan dan tekanan.
Nye mengatakan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi perilaku pihak lain sesuai kemauan kita. Ada sejumlah cara untuk mempengaruhi perilaku pihak lain. Kita bisa memaksa mereka dengan ancaman. Kita bisa membeli pengaruh dengan memberi bantuan. Atau kita bisa menarik dan mengkooptasi mereka.
Kadang-kadang kita bisa mempengaruhi perilaku orang lain tanpa memerintahkannya sama sekali. Jika orang percaya bahwa tujuan kita benar, maka kita bisa mempengaruhi pihak lain tanpa ancaman atau bujukan dan pemberian bantuan.
Sebagai contoh, Muslim radikal tertarik dengan Osama bin Laden bukan karena ancaman atau bujukan, tapi mereka percaya apa yang diperjuangkan Obama itu benar.
"Hard power" telah gagal
Satu hal yang tidak dimengerti AS adalah fakta bahwa negeri itu merupakan satu-satu adidaya di dunia pada 2001, namun AS tidak berdaya mencegah serangan 11 September. Artinya: kekuatan militer, kekuatan senjata, yang disebut sebagai "hard power", telah gagal untuk membendung kebencian terhadap bangsa Amerika.
Oleh karena itu, setelah 9/11 banyak pihak menoleh pada kekuatan non-militer dan non-persenjataan untuk bisa meredam permusuhan terhadap AS. Para pengambil kebijakan dan para pakar kemudian mencari cara tidak langsung agar pihak-pihak yang memusuhi AS bisa dikooptasi.
Cara tidak langsung itu sering disebut sebagai "wajah lain dari kekuatan", bukan yang keras, tapi yang lembut.
Sebuah negara bisa memberi pengaruh di dunia untuk mengikutinya karena negara-negara lain memuja nilai-nilai, karakter, dan budayanya yang dianggap ideal dan menarik untuk diteladani. Itulah yang kemudian dikenal sebagai "soft power", yakni bagaimana pihak lain mengikuti apa yang kita inginkan dengan cara mengkooptasi mereka dan bukannya dengan memaksa mereka.
Pada era globalisasi sekarang ini peran "soft power" makin meningkat ketimbang "hard power". Siapapun yang ingin memenangi abad informasi harus memiliki dan menguasai berbagai macam saluran komunikasi untuk membantu mengemas isu dan mengembangkan agenda.
Informasi adalah kekuatan dan saat ini sebagian besar masyarakat sudah mendapat akses terhadap kekuatan itu. Kemajuan teknologi membawa kepada pengurangan yang dramatik dari biaya tranmisi informasi. Komunikasi dan informasi menjadi murah dan terjangkau. Akibatnya terjadi ledakan informasi dan melahirkan apa yang disebut "paradox of plenty".
Manakala masyarakat dibanjiri informasi yang melimpah ruah, mereka sulit untuk fokus. Informasi melimpah ruah namun perhatian malah yang kini menjadi susah dan langka. Mereka yang bisa membedakan mana informasi yang bernilai dari riuh rendahnya informasi sampah, maka dialah yang memperoleh kekuatan.
Pada titik itu, maka peran dari kantor berita Antara yang bisa memilah informasi yang bernilai dari sampah informasi yang membludak menjadi sangat penting.
Selama ini kita menjadi bangsa yang gaduh dan ribut. "Agenda setting" media dan ruang publik didominasi oleh aktor-aktor yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan nasional. Media cetak, online, radio dan televisi riuh rendah mengangkat persoalan-persoalan yang sepertinya masalah besar, genting dan krusial, namun tidak menyentuh kepentingan rakyat di berbagai peloksok Tanah Air.
Kita menjadi bangsa yang senang memperolok pemimpinnya sendiri, menghujat lembaga-lembaga negara, mengatakan kejaksaan, kepolisian, pengadilan sebagai bobrok dan tidak dipercaya. Kalau rakyat tidak percaya lagi kepada pemerintah, DPR, pengadilan atau KPK, mau jadi bangsa apa kita. Mungkin saja ada pejabat yang korupsi, hakim yang disuap, atau jaksa yang dibeli. Tapi masih banyak pejabat, hakim dan jaksa yang bersih namun itu tidak diceritakan sehingga masyarakat menggeneralisir.
Antara adalah soft power
Di sinilah letak penting Kantor Berita Antara untuk menceritakan yang tidak diceritakan. Di sinilah strategisnya Kantor Berita Antara untuk menyampaikan apa-apa yang sudah dicapai dan belum dicapai oleh semua pemangku kepentingan negara ini dari mulai eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Sebaliknya juga mendengar dan melaporkan apa yang hidup dalam suasana kebatinan masyarakat, apa kebutuhan mereka, masalah mereka, aspirasi mereka.
Disitulah letak strategisnya Kantor Berita Antara sebagai "soft power" yang bisa menjembatani hubungan antar lembaga negara, pemerintah dan rakyat, menjaga kohesi bangsa, persatuan dan kesatuan. Dengan menyajikan informasi berita teks, foto, video dengan titik pandang kepentingan nasional dan NKRI sebagai harga mati.
Sebagai kantor berita nasional, kebijakan redaksi Kantor Berita Antara adalah "mission-driven", yaitu Antara akan menyiarkan kabar baik, tapi bukan yang baik-baik saja.
Jadi, mengabaikan peranan Kantor Berita Antara sebagai industri strategis adalah sebuah kekeliruan. Kantor Berita Antara adalah kekuatan lembut yang makin penting peranannya di masa kini dan masa depan.
Dahulu kekuatan politik di dunia didasarkan pada hukum besi bahwa siapa yang kuat secara militer dan ekonomi dia yang menang. Kini, pertarungan politik di abad informasi akan didasarkan pada hukum besi: cerita siapa yang menang. Pendek kata, di abad informasi "soft power" lebih efektif daripada "hard power"!
Kekuatan militer dan senjata AS memang bisa malang melintang menyerang Afghanistan dan Irak. Tapi justru "hard power" tersebut membuat kekuatan lembut AS (nilai-nilai, karakter, budaya) yang disebut "soft power" itu anjlok.
AS menjadi negara yang paling dibenci dan paling banyak menjadi sasaran teroris.
Inilah paradok kekuatan Amerika Serikat. Kekuatan militernya sudah tidak dipertanyakan lagi: pasukan AS digelar di 130 negara di seluruh penjuru dunia. Tidak ada kekuatan tentara lain yang berani menantang untuk perang dengan AS. Namun, sejalan dengan kekuatan militer AS yang terus meningkat, kemampuan AS untuk memberikan pengaruh justru pada titik paling nadir di banyak bagian dunia, bahkan di negara-negara sekutunya sendiri.
Untuk mengoreksi kesalahannya tersebut, kini AS berpaling mengembangkan kekuatan lembutnya. Jika AS merombak kebijakannya dari "hard power" ke "soft power", mengapa Indonesia justru lebih mengembangkan "hard power" ketimbang "soft power"-nya.
Terakhir, saya ingin mengutip kata-kata bijak dari Joseph S. Nye Jr berikut ini: "Pemimpin harus membuat keputusan krusial mengenai tipe kekuatan yang mereka gunakan".
Dalam berbagai kesempatan, futurolog ini selalu mengatakan: "Ini eranya soft power bung!".
Sumber : Harian Analisa
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment