Bila tidak diatur dalam undang- undang, operasi selain perang TNI akan berpotensi menimbulkan masalah. Pengamat militer dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, dalam UU No 34/2004 tentang TNI, salah satu tugas TNI adalah operasi selain perang.
Tugas ini beririsan dengan tugas-tugas Polri, misalnya dalam penanggulangan dan penumpasan terorisme. “Karena tugas dan profesionalitas operasi selain perang TNI belum dirinci dalam UU lain, dalam praktiknya rentan menimbulkan konflik kewenangan antar institusi maupun pelanggaran HAM (hak asasi manusia),” kata Jaleswari di Jakarta kemarin.
Dia mengungkapkan,RUU Kamnas sebenarnya dirancang sebagai payung hukum dari sejumlah UU lain yang berkaitan. Saat ini draf RUU tersebut sudah berada di Komisi I DPR dan akan dibahas mulai pekan ini. Di tempat terpisah,Direktur Jenderal Potensi Pertahanan, Kementerian Pertahanan Pos M Hutabarat menyatakan, RUU Kamnas tidak menambah kewenangan TNI untuk melakukan penangkapan dan penyadapan.
RUU ini justru mengatur pengawasan terhadap instansi yang memiliki kewenangan khusus seperti penyadapan, penangkapan, pemeriksaan, dan tindakan paksa lainnya. Penggunaan kewenangan khusus harus dilakukan sesuai eskalasi ancaman keamanan seperti tertib sipil, darurat sipil, darurat militer, dan keadaan perang.
“Jadi intinya bukan soal pemberian kewenangan,tapi semua instansi yang memiliki kewenangan khusus akan diawasi Dewan Keamanan Nasional atau DKN,” ungkapnya saat jumpa pers di Kantor Kementerian Pertahanan,Jakarta,kemarin.
Menurut Pos, berbagai institusi yang memiliki kewenangan khusus terkait keamanan antara lain TNI,Polri,beberapa kementerian, kejaksaan,Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),dan lainnya.
Pembentukan DKN merupakan salah satu amanat RUU Kamnas.Lembaga ini merupakan transformasi dari Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas). Anggota DKN adalah sejumlah menteri,panglima TNI, Kapolri, dan pimpinan badan/ komisi yang diketuai Presiden.
Sejumlah pengamat dan LSM mengkritisi ada pasal tentang penangkapan, penyadapan, dan pemeriksaan yang dilakukan unsur-unsur keamanan. Pada Pasal 54 butir e RUU Kamnas terdapat kalimat: pengawasan penggunaan kuasa khusus. Pada penjelasan butir ini disebutkan bahwa “kuasa khusus yang dimiliki unsur keamanan nasional berupa hak menyadap, memeriksa, menangkap, dan melakukan tindakan paksa sah lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Dewan Pers menganggap cakupan RUU ini terlalu luas dan ada pasal yang berpotensi menjadi pasal karet seperti pada masa Orde Baru.Terdapat pula pasal yang dinilai dapat menghidupkan kembali haatzai artikelen (pasal penghasutan). Pasal 54 juga dianggap membahayakan kemerdekaan pers. Aparat bisa dilegalkan menyadap institusi atau individu pers yang dinilai mengancam keamanan nasional.
Sementara itu, Sekretaris Dirjen Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan, Laksamana Pertama Leonardi,menegaskan, wewenang masing-masing lembaga tetap melekat sebagaimana diatur UU sektoralnya.
Sumber: SINDO
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment