"Presiden menyampaikan bahwa pilar penting dari hubungan dua negara ini adalah hubungan antara angkatan bersenjata. Kalau hubungan angkatan bersenjatanya bagus, tentu hubungan kedua negara lebih bagus," kata Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono di Kantor Presiden, Selasa 5 Juli 2011.
Dalam pertemuan itu, SBY didampingi antara lain Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Sekretaris Kabinet Dipo Alam, dan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono. Sedangkan Jenderal Tan Sri Zulkifeli datang didampingi Asisten Operasi ATM Laksamana Muda Dato' Abd Hadi bin A Rashid, Dubes Malaysia untuk Indonesia Dato' Syed Munshe Afdzaruddin Syed Hassan, serta Atase Pertahanan Malaysia di Indonesia, Brigadir Jenderal Mohd Anuar Rijaludin.
Tan Sri Zulkifeli adalah Panglima Tentara Malaysia yang ke-18. Ia diangkat menjadi Panglima pada 15 Juni 2011, menggantikan Jenderal Tan Sri Dato’ Sri Azizan Ariffin. Kerja sama yang akan dilanjutkan oleh angkatan bersenjata kedua negara ini antara lain pertukaran perwira serta pelatihan bersama.
Namun, dalam pertemuan tersebut tak disinggung soal kerja sama terkait perbatasan dua negara. Menurut Agus, tidak ada komitmen secara konkret yang disampaikan, tapi yang penting adalah meningkatkan hubungan dua negara serumpun ini. "Hubungan yang ada ini harus dipertahankan, ditingkatkan, dan itu harus menjadi komitmen," katanya.
Kerja sama mengenai persenjataan juga tidak dibahas secara khusus, meski sempat disinggung soal panser 6 x 6 buatan Indonesia. "Malaysia yang berkeinginan membeli, akan terus dilanjutkan," ujar Agus.
Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah menambahkan, Presiden SBY menekankan soal hubungan militer kedua negara yang berjalan baik. Hal itu menjadi satu jaminan stabilitas hubungan kedua negara. "Indonesia negara pertama yang ditetapkan untuk dikunjungi, Ini suatu indikasi bagaimana Malaysia melihat Indonesia penting," katanya.
Adapun mengenai masalah perbatasan kedua negara, Faizasyah mengatakan soal itu menjadi bagian yang akan ditangani. Beberapa batas wilayah kedua negara kini masih menjadi masalah, yang juga berpotensi memunculkan konflik di lapangan, sehingga pimpinan militer kedua negara perlu membangun hubungan baik satu sama lain. "Agar potensi masalah itu tidak menjadi ekskalasi di lapangan," ujarnya.
Guna menghindari konflik, Faizasyah juga menyinggung perlunya transparansi persenjataan antarnegara di ASEAN. Seperti Defence White Paper, sebuah dokumen penting yang harus dikeluarkan oleh negara, sehingga ada tranparansi dan kenyamanan hubungan dengan negara lainnya.
Hal ini, menurut Faizasyah, sudah dilakukan dalam mekanisme ASEAN Defence Minister Meeting, di mana ada mekanisme penyampaian informasi fasilitas militer yang dimiliki masing-masing negara. Dalam konteks itu sudah ada tranparansi, sehingga bisa saling mengukur kapasitas militer masing-masing negara.
Sumber: TEMPO
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment