Demikian kegelisahan Direktur Teknik-Pengembangan PT Dirgantara Indonesia Dita Ardoni Jafri dan Direktur Manufactur PT Pindad Tri Harjono saat beraudiensi dengan media massa di Bandung, Selasa (1/11).
Tampak hadir Kepala Pusat Komunikasi Publik (Kapuskom Publik) Kementerian Pertahanan, Brigjen TNI Hartin Asrin dan jajaran pejabat Puskom Publik Kemhan. Rombongan wartawan yang mengikuti Press Tour Kemhan juga diberi kesempatan meninjau lokasi pembuatan senjata PT Pindad dan PT DI.
Hartin mengatakan, pemerintah melalui Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang diketuai Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, sedang menjajaki kerja sama dengan negara sahabat dalam pengadaan pasar produksi industri pertahanan dalam negeri. "Selain itu, KKIP juga sedang merangkul perbankan untuk pengadaan permodalan," kata dia.
Baru-baru ini, PT DI dan BRI telah menandatangani kontrak untuk permodalan senilai Rp 2 triliun. Pengucuran dana akan dimulai pada 2012, sebesar Rp 1 triliun.
Dita mengharapkan keberpihakan pemerintah. Selain permodalan, pemerintah menyediakan pangsa pasar dalam negeri, termasuk membuka pasar di kawasan Asia Afrika agar industri pertahanan tak kesulitan mencari kredit untuk pengembangan usaha.
Itu bisa ditunjukkan saat industri pertahanan, seperti PT Dirgantara Indonesia berhubungan dengan bank. Hal yang sama juga harus diberikan kepada Pindad. "PT DI dan Pindad tak bisa disamakan dengan BUMN lain yang bisa bersaing kompetitif. Pindad hanya melayani pertahanan," kata dia.
Aturan Hukum
Sementara, pengamat pertahanan Rizal Dharmaputra mengkhawatirkan jika industri pertahanan dalam negeri kembali kritis apabila pemerintah tidak memberikan perhatian terhadap sejumlah persoalan yang mereka hadapi.
Solusi yang tercepat adalah pemerintah harus segera mengonkretkan aturan hukum yang lebih berpihak kepada industri lokal. "Pemerintah harus segera menyiapkan keputusan presiden (keppres) yang mewajibkan TNI dan Polri maupun lembaga pemerintah lainnya belanja kelengkapan senjata maupun armada ke PT DI, Pindad, PAL," ujar dia.
Pengadaan senjata, kata Rizal, bisa saja dilakukan berjenjang. Bukan dimulai untuk persenjataan yang sulit diproduksi dulu. Namun, fokus pada jenis senjata yang cepat dibikin sesuai dengan kapasitas produksi."Kalau beli senapan serbu di Pindad, saya kira tidak ada masalah,'' ujar Rizal.
Selama ini, menurut dia, senapan yang digunakan TNI dan Polri tidak seragam. ''Untuk senapan, saya kira produk Pindad bersaing dengan buatan dari mana pun," katanya. Nah, setelah produksi Pindad bergairah, kepercayaan pemerintah untuk belanja senjata di industri lokal bisa ditingkatkan. Misalnya, belanja tank atau panser dengan kemampuan tertentu.
Persoalan yang harus dituntaskan tidak hanya sampai di situ. Menurut Rizal, aturan hukum itu juga harus mampu memangkas makelar penjualan senjata yang selama ini kerap mengganggu pertumbuhan industri pertahanan nasional.
Sebab, kata Rizal, sepak terjang makelar akan membikin pengguna anggaran menjatuhkan pilihan kepada penjual senjata di luar negeri. "Sebab, saat menawarkan senjata, tentu tidak gratis. Makelar juga menawarkan sejumlah kompensasi kepada pengguna anggaran," tuturnya. Padahal, pemerintah harus mengalokasikan dana besar untuk belanja persenjataan. "Di mana pun tentu lebih murah produksi sendiri jika dibandingkan dengan membeli dari luar negeri," ucap dia.
Sumber : Suara Karya
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment