Pemerhati militer Tjipta Lesmana berpendapat pada dasarnya Alutsista hanya konsep jangka pendek, paling jauh jangka menengah. Tujuannya menggantikan sejumlah tank yang sudah tua sekali, sudah berusia 40 sampai 50 tahun. Sudah saatnya, demikian Tjipta, tank itu dibesituakan.
Untuk jangka panjang, misalnya 10 tahun atau 20 tahun ke depan, Tjipta Lesmana menilai TNI atau Kemhan belum memiliki konsep yang matang. Dengan citra terpuruk pada masa Orde Baru, TNI jelas kesulitan. Perlawanan di dalam negeri tetap besar, baik dari parlemen maupun dari LSM.
Membina hubungan
Sebuah juklak Kementerian Pertahanan menegaskan sekarang Alutsista lebih memprioritaskan pemeliharaan daripada pengadaan senjata. Maklum, demikian juklak itu, anggaran pemerintah terbatas. “Ini berarti Kemhan mengambil langkah yang pragmatis, memelihara, baru mengganti yang sudah tua,” demikian Tjipta Lesmana.
Untuk periode 2010 sampai 2014, TNI memperoleh anggaran sebesar Rp. 14 triliun yang jelas juga bisa digunakan untuk belanja senjata.
Salah satu tujuan belanja senjata itu adalah Belanda. Maklum Belanda yang dilanda kesulitan ekonomi sedang melakukan penghematan besar-besaran dengan, antara lain, merampingkan angkatan bersenjatanya.
Den Haag mengobral banyak peralatan militernya. Dan Indonesia tertarik pada paling sedikit dua jenis, tank Leopard serta pesawat tempur F16.
Belanda sebagai tujuan belanja militer ini tidaklah mengherankan, paling sedikit bagi Haryo Adjie, penulis buku tentang kavaleri Indonesia. “Indonesia Belanda sudah membina hubungan di bidang militer cukup lama,” katanya.
Menurut Adjie banyak juga peralatan militer Indonesia yang berasal dari Belanda. Pada tahun 1980an dan 1990an Indonesia membeli fregat Belanda yang kemudian digunakan TNIAL. Karena itu Haryo Adjie tidak melihat ada masalah dengan Belanda.
Mahzab tank ringan
Yang baginya merupakan pertanyaan besar adalah seberapa jauh belanja senjata di Belanda ini akan cocok dengan Alutsista. Haryo Adjie cenderung berpendapat faktor-faktor luar negerilah yang menyebabkan Indonesia berniat membeli senjata di Belanda.
Pertama ada kesempatan beli tank murah ketika Belanda mengobral tank Leopardnya. Kedua, negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura juga sudah memiliki tank moderen dan berat. Malaysia misalnya sudah punya tank berat PT 91 buatan Polandia.
Dua faktor luar negeri ini memang belum tentu sejalan dengan keperluan persenjataan Indonesia.
Dalam soal tank Haryo Adjie tegas: Indonesia menganut mahzab tank ringan. Tank-tank Indonesia, misalnya PT 76, AMX 13, dan Scorpion termasuk tank kecil yang beratnya tidak lebih dari 15 ton. Sementara tank Leopard mencapai 60 ton, empat kali lipat tank Indonesia sekarang.
Hal ini ditekankan oleh Edward Lukman, pengamat persenjataan dari Universitas Indonesia. Kalau nanti Indonesia akhirnya membeli tank Leopard juga, maka akan harus ada penyesuaian yang tidak kecil.
Edward juga menunjuk pada maraknya perdebatan mengenai cocok tidaknya tank Leopard ini untuk alam Indonesia. “Indonesia jelas bukan Irak atau Afghanistan yang dianggap ideal bagi Leopard,” kata dosen Universitas Indonesia ini.
Skenario Scorpion
Di luar pelbagai faktor kemiliteran itu, Haryo Adjie masih menunjuk satu faktor politik yang juga layak diperhitungkan. Itulah larangan Inggris untuk mengerahkan tank Scorpion di Aceh, sewaktu di Serambi Mekah ini masih belum dicapai perjanjian perdamaian. Kena larangan itu akhirnya tank Scorpion memang tidak dikerahkan di Aceh.
Sekarang parlemen Belanda sudah meloloskan mosi yang melarang penjualan tank Leopard ke Indonesia. Pemerintah Belanda belum mengambil keputusan apakah penjualan ke Indonesia itu akan diteruskan.
Perundingan kedua negara mengenai rencana penjualan ini konon juga masih terus berlangsung. Kalau kelak penjualan itu benar-benar berlangsung, Haryo Adjie tidak menutup kemungkinan skenario Scorpion di Aceh akan kembali berulang bagi Leopard.
Bagi Edward Lukman, pengamat kemiliteran Universitas Indonesia, Alutsista sebaiknya diarahkan pada pembinaan Angkatan Laut dan pengembangan Angkatan Udara. Baginya itulah yang benar-benar dibutuhkan oleh Indonesia dan juga tidaklah berarti bahwa Angkatan Darat ditinggalkan.
Kalau apa yang disebutnya sebagai dua matra itu menjadi moderen, maka Angkatan Darat juga akan punya ruang gerak. “Jadi saya pikir tidak salah kalau ke depan itu diberi fokus pada dua matra tadi, AL dan AU,” demikian Edward Lukman.
Sumber: RNW
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment