Jakarta - Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Imam Sufaat mengingatkan pentingnya dukungan industri pertahanan dalam negeri untuk penyediaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) dan peralatan pertahanan keamanan. Industri pertahanan yang kuat di dalam negeri akan mengurangi ketergantungan terhadap pemasok alutsista impor.
"Ini bisa diwujudkan bila tersedia industri kedirgantaraan yang mampu menghasilkan perlengkapan itu," katanya di Jakarta, Kamis 7 April 2011.
Sufaat mengatakan industri yang diperlukan di dalam negeri tidak hanya industri utama yang menghasilkan pesawat terbang, roket, satelit dan balon udara. Tetapi juga industri sistem kedirgantaraan atau industri-industri pendukung yang memproduksi komponen pesawat terbang.
Selain sektor industri, pertahanan udara menurutnya juga perlu didukung oleh ketersediaan jasa kedirgantaraan. Misalnya , ia mencontohkan, jasa transportasi udara, layanan telekomunikasi, pelayanan keselamatan terbang, pemeliharaan pesawat terbang, informasi prakiraan iklim dan cuaca, informasi geografi dan lainnya.
Direktur Aerostruktur PT. Dirgantara Indonesia Andi Alisjahbana mengatakan kebutuhan alutsista dan peralatan pertahanan tidak bisa selamanya mengandalkan produsen asing. Ia mencontohkan pada 1999 ketika militer Indonesia diembargo oleh Amerika. Mau tidak mau harus mengandalkan industri di dalam negeri.
"Juga ada kebutuhan untuk perawatan dan perbaikan pesawat," katanya. Perbaikan pesawat yang dilakukan di dalam negeri akan memicu pertumbuhan industri komponen.
Staf Ahli bidang Air Power TNI AU Marsekal Pertama Parulian Simamora mengatakan TNI AU menargetkan memiliki 10 skuadron tempur, tujuh skuadron angkut, satu skuadron VIP/VVIP, tiga skuadron intai strategis, enam skuadron helikopter, empat skuadron latih, satu skuadron tanker dan satu skuadron PTTA dan alutsista.
"Sesuai postur kebutuhan sampai 2025," katanya. Namun pemenuhan kebutuhan ini masih terhambat oleh kecukupan anggaran. Meski TNI AU sudah mengupayakan peningkatan anggaran untuk alutsista, penambahannya dinilai belum signifikan.
Sumber: TEMPO
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment