Jakarta, Kompas - Pengembangan industri dirgantara belum menjadi prioritas pemerintah. Hingga kini, pemerintah tidak mempunyai peta jalan pengembangan industri dirgantara. Akibatnya, perkembangan industri bernilai strategis bagi bangsa itu sangat bergantung kepada pasar.
”Industri pesawat tidak bisa dibiarkan tumbuh sesuai mekanisme pasar yang sangat bergantung kepada supply-demand (ketersediaan dan permintaan),” kata Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Marzan Azis Iskandar seusai menyerahkan hasil uji aerodinamika pesawat N219 dari BPPT kepada PT Dirgantara Indonesia (DI).
Pembuatan satu paket pesawat N219 yang cocok digunakan untuk wilayah pedalaman Papua dan pulau kecil karena bisa mendarat di landasan berumput sepanjang 600 meter ini hanya Rp 1 triliun untuk 25 pesawat. Nilai itu, menurut Marzan, sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp 1.200 triliun, subsidi bahan bakar minyak lebih dari Rp 83 triliun, subsidi buku sekitar Rp 15 triliun, atau nilai investasi Jembatan Selat Sunda sekitar Rp 150 triliun.
”Ini bukan hanya soal besaran dana (Rp 1 triliun), tetapi pesawat ini harus dibuat untuk regenerasi engineer (insinyur) pembuat pesawat Indonesia,” katanya.
Mulai pensiun
Direktur Utama PT DI Budi Santoso menambahkan, pesawat N219 ini merupakan jembatan bagi ahli rekayasa pesawat Indonesia. Para ahli rekayasa dan teknisi hasil didikan pelopor industri pesawat terbang Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, pada 1980-1990, akan mulai memasuki masa pensiun.
Generasi pertama pembuat pesawat Indonesia itu pernah mengembangkan pesawat canggih di kelasnya, seperti CN235 dan N250. Agar ilmu yang dimiliki para ahli senior itu dapat diteruskan kepada ahli rekayasa dan teknisi muda, perlu media yang memungkinkan transfer ilmu dan teknologi itu berlangsung.
”Jika regenerasi ini tidak terjadi, kemampuan yang sudah dimiliki akan hilang. Artinya, jika setelah itu Indonesia ingin membangun kembali industri dirgantaranya, Indonesia harus memulai dari nol lagi,” ungkapnya.
Tidak terjadinya transfer teknologi itu dinilai Marzan sebagai kehilangan besar bagi Indonesia. Untuk membangun kembali kemampuan membuat pesawat butuh waktu lama dan biaya yang jauh lebih besar.
Ketiadaan peta jalan (road map) industri dirgantara juga membuat kebutuhan ahli pesawat Indonesia tidak jelas. Semula ahli di PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (nama lama PT DI) banyak disuplai oleh alumni Jurusan Teknik Penerbangan (sekarang Program Studi Aeronautika dan Astronautika) Institut Teknologi Bandung (ITB). Selain itu, para ahli dan teknisi itu juga diisi oleh lulusan Universitas Nurtanio Bandung dan Universitas Suryadarma, Halim Perdana Kusuma, Jakarta.
Setiap tahun, jumlah lulusan dari ITB diperkirakan sekitar 60 orang. Sejak industri dirgantara Indonesia surut akibat krisis ekonomi 1998, banyak alumnus ITB yang memilih bekerja pada maskapai penerbangan. Tanpa ada peta jalan yang jelas, lulusan teknik penerbangan tersebut akan sulit berkembang atau kemampuannya tidak termanfaatkan.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
1 komentar:
Ayolah pemerintah segera sadar, mengapa tidak mengambil hikmah ketika tahun 1998 proyek N250 dan N2130 dijegal IMF dan politisi-politisi/pengamat yang tidak memiliki jangkauan pemikiran/visi ke depan. Akibatnya proyek tersebut gagal maka Embraerlah yang keluar sebagai juara dan sekarang begitu eksis padahal teknologi IPTN waktu itu tidak kalah canggih. Saatnya sekarang memulai lagi tanpa harus terlalu memandang aspek "untung-rugi", agar SDM ahli penerbangan kita memiliki tempat untuk berinovasi dan berkreasi dan tentunya pasti akan sangat menguntungkan dari berbagai aspek..
Post a Comment