Jakarta - Tak mau dibilang lamban, pemerintah buka kartu soal pengiriman pasukan pembebasan awak kapal MV Sinar Kudus yang dibajak di Somalia. Dua kapal freigat dengan 401 orang tentara gabungan Korps Marinir TNI Angkatan Laut dan Korps Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat ditugaskan perairan sekitar benua Afrika.
"Banyak pendapat, pemerintah tak ambil tindakan, pemerintah lemah," kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Jumat (15/4). Padahal dari awal, opsi militer paling keras pun sudah menjadi pilihan.
Dia memaparkan, tanggal 17 Maret pemerintah menerima informasi pembajakan kapal milik PT Samudera Indonesia. Esok harinya dirapatkan, lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan agar mengutamakan keselamatan awak kapal.
Rapat kembali digelar 20-22 Maret, yang menghasilkan dua opsi. Yaitu, pemerintah mendukung negosiasi pemilik kapal dengan para lanun, sekaligus menyiapkan pasukan khusus untuk menyerbu dan merebut Sinar Kudus. Demi keselamatan awak, pemerintah memilih menonjolkan sisi negosiasi dan menyembunyikan opsi penyerbuan.
Pada tanggal 23 Maret, kapal diberangkatkan. Agar segar dan siap tempur, anggota Kopassus terbang ke Kolombo, Sri Langka. Kapal merapat di Kolombo untuk menjemput mereka dan mengisi logistik. Pasukan bergerak dari Kolombo pada 30 Maret. Karena letak Somalia yang jauh, membuat kedua kapal itu terlambat mencegat Sinar Kudus. "Tanggal 2 April, Sinar Kudus lego jangkar, merapat ke daratan. Kami berharap ketemu di laut, tapi baru sampai di posisi lego jangkar tanggal 5," ucap Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono.
Tentara menerbangkan helikopter, mengecek kondisi. Namun Sinar Kudus berada di dekat daratan, di tengah puluhan kapal yang dibajak penyamun. Pemerintah akhirnya memutuskan mengedepankan negosiasi, menempatkan kedua kapal freigat itu di dekat Somalia.
Menurut Djoko, kedua kapal itu bersiaga mengawal Sinar Kudus pulang jika negosiasi berhasil. Tapi, ia menolak jika masyarakat menyebut operasi militer gagal. "Saya tidak senang kata gagal, karena operasi belum dijalankan," kata Djoko. "Media massa jangan bikin bikin polemik, jangan ada disinformasi ke publik."
Sumber: TEMPO
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment