Biasa Dipasang di Sukhoi dan Pesawat Standar NATO
Siapa sangka jika persenjataan enam pesawat Sukhoi milik Indonesia selama ini tidak dipasok dari Rusia, tapi dari sebuah industri bom skala kecil di Kota Malang. Adalah Ricky Hendrik Egam, orang di balik industri persenjataan made in Indonesia ini.
Yosi Arbianto
---
Dua bengkel teknik di Jalan Muharto, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, menjadi tempat produksi bom P-100. Jenis bom P-100 ini termasuk kategori drop bom atau bom yang dijatuhkan dari pesawat.
Dua bengkel itu disewa Ricky dari seorang pengusaha lokal sejak 2007. Dulu, bengkel itu untuk membuat knalpot motor dan reparasi mesin-mesin industri. Termasuk bengkel pembuatan beberapa suku cadang bus. Sebelum dijadikan lokasi produksi bom, masyarakat setempat mengenal bengkel itu sebagai bengkel knalpot berbendera Raja Knalpot. Kini, nyaris warga sekitar tidak tahu kalau bengkel tersebut membuat persenjataan pesawat tempur Sukhoi.
"Orang sini nyebutnya bengkel teknikal. Biasanya banyak yang ndandakno mesin, mbubut besi, gawe knalpot. Mosok saiki gawe bom nang kene," tanya Nanang, warga Jalan Muharto heran.
Ricky menggunakan satu bengkel yang luasnya separo lapangan bola menjadi lokasi asembling dan finishing bom. Di sana banyak alat-alat teknik. Beberapa jenis mesin bubut, mesin bor, peralatan las, hingga alat-alat untuk pengecatan dan balancing (keseimbangan). Di bengkel ini, juga ada kantor dan penyimpanan casing bom yang sudah jadi.
Sedangkan satu bengkel lagi dengan letak berseberangan, menjadi lokasi pengecoran badan bom. Di bengkel yang ukurannya lebih kecil itu, Ricky membuat casing (selongsong) bom dari besi nodular. Juga membuat fin (penyeimbang/ekor) dari besi ST-37, suslug (cantelan) dari baja VCN 45, tabung isian, nose (bagian depan bom), dan juga pelontar.
Minggu (28/3) kemarin, empat belas anggota staf khusus kepresidenan datang berkunjung. Mereka melihat aktivitas pembuatan bom yang bisa compatible dipasang di dua jenis pesawat ini. Yakni pesawat Sukhoi 27/30 dan pesawat standar Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), seperti F-5. Staf khusus kepresidenan tertarik karena ada industri kecil yang bisa menopang kebutuhan alutsista (alat utama sistem persenjataan) dalam negeri.
"Terus terang saya baru tahu ini. Mestinya pemerintah memberikan perhatian. Sehingga nanti bisa dikembangkan untuk industri pertahanan," ungkap Purwatmojo, ketua rombongan staf khusus kepresidenan bidang bantuan sosial dan bencana.
Ada dua jenis bom yang dipabrikasi di bengkel sederhana tersebut. Yakni bom latih P-100 berwarna biru dan bom P-100 L (life) berwarna hijau militer. Dimensi keduanya hampir sama. Bom memiliki panjang 1.100 milimeter, berat 100-125 kilogram, dan diameter 273 milimeter. Untuk panjang ekor (fin) lebih kurang 550 milimeter.
Bom yang berwarna biru hanya bisa mengeluarkan asap ketika dijatuhkan dan hidungnya menyentuh tanah. Asap berasal dari gas TiCl2 (titanium diclorida) yang dimasukkan dalam tabung di dalam badan bom. Gas di dalamnya keluar karena tabung pecah saat membentur tanah.
Bom latih berkaliber 100 kilogram ini telah digunakan sejak 2007 oleh pesawat tempur Sukhoi SU 27/30 di Skuadron 11 Ujung Pandang. Bekerjasama dengan Dinas Penelitian dan Pengembangan Angkatan Udara (Dislitbangau) sudah ratusan buah bom latih diluncurkan dari Sukhoi.
Untuk bom yang berwarna hijau militer, bisa meledak. Karena di dalamnya diisi dengan bahan peledak. Proses pengisian bahan peledak dilakukan di dua BUMNIS (Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis). Yakni, di PT Pindad untuk jenis bahan peledak militer dan PT Dahana, Tasikmalaya, Jawa Barat, untuk jenis bahan peledak komersial.
"Kalau sudah diisi bahan peledak, bomnya langsung diangkut TNI AU sebagai pengguna bom buatan kami. Kami tidak punya izin untuk menyimpan bahan peledak," kata Ricky, pria kelahiran Surabaya 50 tahun lalu ini.
Khusus untuk bom P-100 L yang bisa meledak, Ricky telah melakukan uji coba statis dan dinamis pada 29 Desember 2009 lalu. Lokasinya di AWR (air weapon range) Pandanwangi, Lumajang. Bom dipasang di pesawat Sukhoi dan dijatuhkan pada ketinggian 4.500 feet (sekitar 1.350 meter). Dislitbangau menilai trajectory (lintasan bom) P-100 L layak. Seperti halnya P-100 versi latih yang telah mendapatkan sertifikat kelaikan.
"Usai uji coba tersebut, kami mendapatkan perintah untuk membuat 24 buah P-100 L yang akan digunakan dalam fire power demo bulan depan di hadapan presiden," kata sarjana pertanian Universitas Brawijaya (UB) ini.
Atas hasil kepiawaiannya di bidang pembuatan industri kecil bom ini, Ricky juga pernah diundang dua kali oleh Tentara Udara Diraja Malaysia (TUDM). Malaysia bahkan ingin memesan 1.000 unit P-100 L dan P-100. Bom tersebut akan digunakan untuk latihan pengeboman 18 unit pesawat Sukhoi milik Malaysia.
Selama ini, Sukhoi milik Malaysia saat latihan menggunakan drop bom jenis OFAB-50 buatan Rusia. Bom jenis ini tidak ada yang jenis latih. Semuanya bisa meledak. Malaysia rupanya berhitung terhadap mahalnya biaya latihan bila terus-terusan menggunakan OFAB-100-120.
"Kalau dibandingkan dengan biaya membeli bom latih ini, satu banding lima harganya," ungkap putra seorang purnawirawan angkatan laut ini.
Sumber: Jawa Pos
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment