Di belahan dunia barat, Perang Korea, pada tahun 1950-1953, dikenal sebagai perang yang terlupakan (forgotten war). Di Asia Tenggara, peristiwa Konfrontasi ”Ganjang Malaysia” (1963-1966) juga menjadi perang terlupakan di antara Indonesia melawan Malaysia, Singapura, Brunei, dan Persemakmuran Inggris Raya.
”Saya berulang kali menyusup ke Singapura dari pangkalan di Pulau Sambu dan Belakang Padang di sekitar Pulau Batam. Saya masuk lewat Pelabuhan Singapura dengan menyamar jadi nelayan biasa,” kata Iin Supardi (69), yang kala itu berpangkat kelasi dua pada satuan Komando Pasukan Katak (Kopaska) TNI Angkatan Laut (AL), Selasa (4/1) di Tangerang.
Di Singapura, Iin menggelar operasi intelijen berupa agitasi, provokasi, hingga upaya sabotase. ”Saya mendatangi kelompok pemuda Tionghoa dan pemuda Melayu untuk membangun kecurigaan antara mereka. Saya menghasut kelompok melawan kelompok. Saya menyamar bekerja sebagai buruh pada taukeh Tionghoa di daerah Jurong,” kata Iin mengenang operasi intelijen tahun 1963-1965 itu.
Sambil mengantar barang dagangan berupa hasil bumi ke Singapura atau berlayar mengantar barang selundupan elektronik, celana, dan rokok dari Singapura ke Kepulauan Riau, Iin menyelundupkan bahan peledak berulang kali ke pelbagai lokasi aman di seantero Singapura.
”Saya sering kucing-kucingan dengan Es Ai Di (yang dimaksud adalah Reserse Kepolisian Singapura alias CID). Harus kasih uang suap hingga 50 straits dollar,” kata Iin yang fasih berdialek Melayu Semenanjung dan sedikit menguasai dialek Hokkian yang lazim digunakan di Singapura,
Sebelum bertugas di Kepulauan Riau, Iin melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) yang dikenal sebagai Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku). Dia melatih TNKU di kamp pelatihan milik TNI di Bengkayang, Kalimantan Barat.
Anggota Kopaska menyusup ke Singapura dari pangkalan di Kepulauan Riau di sekitar Batam, Tanjung Balai Asahan, dan daerah sekitarnya. Mereka biasanya menggunakan perahu kecil dengan motor tempel dan menyamar menjadi warga setempat yang memang biasanya memiliki kerabat di Semenanjung Malaya dan Singapura.
Idjad (70), seorang kopral Kopaska asal Sulawesi Selatan, mengaku masuk ke kawasan perkotaan Singapura dan ke Johor di Semenanjung Malaya. ”Saya punya kontak agen lokal bernama Usman yang sangat pro-Indonesia. Usman tinggal di daerah Kampung Melayu. Ketika saya dan teman-teman tertangkap, dia juga ikut ditahan di Singapura,” kata Idjad, yang juga anggota Kopaska.
Idjad mengingat ketiga rekannya sesama Sukarelawan (Sukwan) Dwikora ditangkap di perbatasan Singapura-Johor di Causeway di dekat Kranji dan Woodlands. Ketika itu, para Sukwan sudah bersiap-siap mengebom pipa air yang memasok kebutuhan air di Singapura dari Johor.
Idjad pun masih teringat saat-saat terakhir ketika Sersan KKO (Marinir) Usman Djanatin akan menyeberang ke Singapura sebelum ditangkap, lalu akhirnya dihukum gantung karena mengebom pusat perbelanjaan di Orchard Road bersama rekannya yang bernama Harun. ”Dia minta dicukur kumis sebelum berangkat agar terlihat rapi,” kenang Idjad.
Ketika dibebaskan dari tahanan di Singapura setelah perjanjian damai Indonesia-Malaysia, Usman masih ditahan di Singapura. Idjad mengaku bertemu kembali dengan Usman pada tahun 1972 saat berlangsung latihan gabungan militer Indonesia-Malaysia dan Singapura. Usman tinggal di daerah Changi dan masih terlihat paranoid karena merasa selalu diawasi aparat. ”Meski begitu, dia yakin Merah Putih seharusnya berkibar di Singapura dan Malaysia,” ujar Idjad.
Seorang veteran lainnya, Liem Hwie Tek (71), asal Cirebon yang ditemui tahun lalu, mengaku, para veteran Dwikora di daerah asalnya semakin terlupakan. Liem masih menyimpan ribuan negatif foto konfrontasi di sektor Kepulauan Riau, tempatnya bertugas di seberang Singapura yang belum dipublikasikan hingga kini.
Meski peran mereka terlupakan, para veteran Konfrontasi di Indonesia bangga dan tetap yakin pada cita-cita politik Soekarno menentang neokolonialisme melalui pembentukan Malaysia kala itu.
Fakta hari ini memang membuktikan, tahun 2000-an, bentuk penjajahan baru dari imperialisme perusahaan-perusahaan asing asal negara maju memang menguasai bangsa-bangsa Asia-Afrika yang gagal membangun kemakmuran pascakolonialisme seusai Perang Dunia II. Kita pun boleh mengingat pesan Bung Karno, ”Djangan Sekali-kali Meloepakan Sedjarah”....
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment