Industri pertahanan merupakan industri strategis nasional yang mempunyai dua efek multiplier.Yakni, kedigdayaan industri ini menjamin ketersediaan alutsista dan sarana pertahanan secara berkelanjutan.
Selain itu,mendorong pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, serta mendorong sektor riset sains dan teknologi. Di Indonesia, pembangunan industri pertahanan telah dimulai sejak diterbitkannya Keputusan Presiden No.59/- 1983.
Kepres itu membidani lahirnya sejumlah industri pertahanan seperti PT IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia/ PT DI) untuk bidang kedirgantaraan, PT PAL (maritim), PT PINDAD (persenjataan dan amunisi),PT DAHANA (bahan peledak),PT LEN (elektronika dan komunikasi).
Industri-industri itu mulai tenggelam setelah dihantam badai krisis pada 1998. Pemerintah beberapa tahun lalu membentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang beranggotakan lintas kementerian dan instansi terkait. Inilah yang diharapkan bisa membangunkan industri pertahanan dari tidur panjangnya.
Ketika sidang pleno ketiga KKIP beberapa waktu lalu, diungkap bahwa perlu diambil langkah-langkah penyehatan neraca keuangan dan cash flow agar BUMNIP itu sehat dan mampu memenuhi pesanan kebutuhan alutsista.
Mereka juga butuh regulasi yang berpihak pada pemberdayaan industri pertahanan dalam negeri. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan, pihaknya berupaya meningkatkan kemampuan industri pertahanan dalam negeri. BUMNIP maupun swasta akan didata mengenai kemampuannya masing-masing.
“Kita ingin meningkatkan local content, dalam arti pendanaannya dari dalam negeri dan industrinya lokal,”ujarnya. Menurut Ketua KKIP itu,sekarang ini sejumlah BUMNIP sudah mulai bangkit. Seperti PT DI yang sudah mengekspor pesawat CN235 dan PT PINDAD yang banyak menerima pesanan senjata maupun panser Anoa 6x6.
PT PAL dan Palindo (industri galangan kapal swasta) juga sudah mampu memproduksi kapal untuk TNI AL. Alumnus ITB ini berharap penyerapan anggaran untuk industri pertahanan dalam negeri bisa 100%.
“Semester kedua baru dimulai. Kita berharap pada akhir semester kedua bisa selesai dengan baik. Selama ini Kementerian Pertahanan menunjukkan penyerapan bisa 100%, tahun ini kita juga optimistis bisa 100%,”paparnya.
Meski memperlihatkan gejala membaik, sejauh ini alokasi anggaran alutsista untuk industri dalam negeri masih dirasa kurang. “Kita sesuaikan antara kebutuhannya berapa dan berapa kemampuan menyerap industri dalam negeri.Ada yang APBN murni yang didedikasikan untuk pembelian, pembangunan industri pertahanan,”kata dia.
Tapi, lanjut dia, tentu ada beberapa yang tidak bisa dibuat di dalam negeri,misalnya Sukhoi. “Itu harus dipahami. Itu (alutsista) diperlukan, tapi tidak bisa diberikan ke industri dalam negeri. Tapi, semaksimal mungkin kita akan gunakan local content,”tuturnya.
Sementara,Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq menuturkan, Kementerian Pertahanan hanya bisa menjanjikan alokasi 15% dari total anggaran alutsista pada 2012 sebesar belasan triliun rupiah untuk industri dalam negeri.“Komisi I mendorong agar diubah menjadi 50%,”katanya.
Dia menilai, alutsista yang modern dapat digunakan aparat dalam mencegah maraknya illegal fishing dan illegal logging yang telah mengakibatkan kerugian hingga puluhan triliun rupiah.“Peningkatan alutsista harus tetap meningkatkan kontribusi bagi peningkatan ekonomi masyarakat dan menciptakan lapangan kerja,” tutur Mahfudz.
Butuh Komitmen Bersama
Mahfudz mengatakan, saat ini yang dibutuhkan BUMNIP maupun BUMNIS (Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis) adalah komitmen dukungan dari pemerintah.Para pemakai (end user) produk alutsista, yakni TNI dan Polri,harus membeli produk-produk mereka.
Menurut dia, kondisi BUMNIP maupun BUMNIS sekarang ini sudah mulai bisa diandalkan. Produk-produk mereka bahkan sudah mulai masuk pasar ekspor.“Tinggal komitmen seluruh kementerian terkait untuk mendukungnya,” kata dia. TNI dan Polri juga diminta untuk berkomitmen memakai produk dalam negeri.
Jika kedua institusi pengguna alutsista ini memiliki kebijakan politik untuk melakukan order ke industri pertahanan dalam negeri, maka dampak peningkatan industri akan sangat terasa. “Perbankan akan lebih mudah untuk mengucurkan bantuan ke industri, ”paparnya.
Sejauh ini baru TNI yang dipandang sudah mulai banyak menyerap produk industri pertahanan dalam negeri.Sedangkan, Polri belum signifikan, padahal mereka juga mendapat anggaran besar.“Kalau komitmen kolektif ini dilakukan, maka dalam waktu lima tahun kita bisa melihat revitalisasi industri pertahanan dalam negeri. Dan, sangat mungkin dalam 10 tahun sudah bisa menjadi pengekspor,”tukasnya.
Sementara, pengamat militer dari Universitas Indonesia Andi Widjajanto sebelumnya menilai, tidak sulit untuk mengalokasikan anggaran bagi pembelian alutsista dari dalam negeri. Sebab, kebutuhan anggaran untuk industri pertahanan dalam negeri sejauh ini masih sedikit lantaran kapasitas produksinya kecil.
Ia mengungkapkan, yang perlu dilakukan dengan anggaran alutsista yang terbatas tersebut adalah mengoptimalkan dan menumbuhkan kapasitas produksi. Itu bisa ditempuh misalnya dengan mengalokasikan anggaran sesuai kapasitas masing-masing industri. “Yang jadi masalah adalah kapasitas produksi tidak akan bisa menyerap anggaran yang dialokasikan,”tuturnya.
Andi menerangkan,dari estimasi anggaran normal untuk MEF sebesar Rp150 triliun (jika terpenuhi), untuk industri pertahanan dalam negeri bisa menyerap 10–20 persen saja sudah cukup hebat.“Artinya, masih ada sekitar Rp130 triliun yang harus tetap dibelanjakan dari luar negeri,”ungkap Andi.
Di antara sekian badan usaha yang bergerak di industri pertahanan, ada beberapa yang dinilai membutuhkan anggaran paling besar, yakni PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL. “Keduanya menggunakan teknologi tinggi, sehingga penyerapan anggaran juga besar. Kalau PT Pindad, PT Dahana, dan LAN itu tidak terlalu mahal sehingga penyerapannya juga lebih sedikit,” imbuh dia.
Sumber : SINDO
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment