Densus 88 mengevakuasi barang bukti yang berhasil diamankan dari penggerebekan teroris di Baki, Sukoharjo, Kamis (13/5). Tiga orang tersangka teroris beserta barang bukti senapan M-16, revolver, ratusan peluru berbagai kaliber, CD, buku hingga rompi serbu berhasil diamankan. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
TEMPO Interaktif, Jakarta - Negara tidak perlu membentuk Lembaga Anti Teror yang lepas dari kementerian Hukum dan HAM. Jika Lembaga Anti Teror itu dibentuk sekarang, besar kemungkinan tugas dan wewenangnya akan bertabrakan dengan Detasemen Khusus 88 maupun Badan Intelejen Nasional (BIN).
“Badan ini (Badan Anti Teror) justru akan menjadi entitas yang tidak jelas,” kata Haris Azhar, Koordinator Kampanye Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rabu (16/6).
Menurut Haris, saat ini yang lebih diperlukan adalah mengefektifkan Lembaga-lembaga negara yang sudah ada. Selain itu mengutamakan penetapan Rancangan Undang-undang Intelejen menjadi undang-undang. “BIN yang hanya bekerja di bawah Inpres itu harus diefektifkan dulu sebelum membentuk badan baru,” katanya.
Kemarin, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Djoko Suyanto menyatakan, rencana melepaskan Lembaga Anti Teror dari bawah Kemenkopolhukam. Alasan pelepasan lembaga itu, karena teroris aspeknya sangat luar biasa, multidisiplin, dan multiinstansi. “Karena itu, kewenangan lembaga tersebut diperluas sehingga tidak dibawah Menkopolhukam lagi.”
Untuk itu, kementerian telah menyusun peraturan presiden yang akan mengatur keberadaan lembaga tersebut. “Kami tinggal menunggu persetujuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” kata Djoko kemarin. Peraturan Presiden tentang Lembaga Anti Teror itu diharapkan terbit Juli 2010.
Sumber: TEMPO
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment