JAKARTA - Indonesia sepertinya harus belajar sungguh-sungguh dari negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura yang mulai mengepakan sayapnya di percaturan internasional.
Selain itu, Indoensia harus berkaca dari pengalaman dan kesalahan massa lalu yang membuat bangsa ini sulit berkembang. Salah satu entry point yang harus menjadi perhatian serius semua elemen dan pemegang kebijakan adalah pengembangan teknologi.
Sebab, Amerika Serikat (AS) tampil sebagai negara adidaya tak lain berkat penguasaan terhadap teknologi dalam berbagai bidang. AS bisa menguasai dunia dengan kecanggihan teknologinya. Bila memetakan posisi Indonesia saat ini dengan jumlah penduduk yang hampir 230 juta jiwa, sungguh dilema.
Hanya menjadi pasar empuk dari produk-produk berbasis teknologi buatan negara asing. Tak pelak, di era pasar global ini Indonesia harus dibanjiri produk impor. Bila menurut ke belakang, sebenarnya sejak tahun 1975-an Indonesia sudah mulai meletakkan infrastruktur pengembangan teknologi dalam rencana pembangunan. Dari mulai industri transportasi, hingga produk
persenjataan.
Salah satu tokoh yang punya andil dalam pengembangan teknologi kedirgantaraan nusantara adalah Bacharuddin Jusuf Habibie, atau dikenal BJ Habibie, di samping sosok Nurtanio Pringgoadisurjo, yang dikenal sebagai pahlawan dirgantara.
Sayang, dalam perjalanannya, rencana besar Habibie kandas akibat tekanan sosial, politik, ekonomi Indonesia yang gonjang -anjing. Hidup segan mati tak mau. Begitulah kondisi PT
Digantara Indonesia (DI) yang kini berada diambang kehancuran. Perusahaan berplat merah ini dulu bernama Industri Pesawat Terbang Nurtanio, sebelum berganti menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
IPTN sempat menggapai puncak kejayaan dibawah kepemimpinan BJ Habibie. Menurut Arif Minardi, mantan karyawan PT DI, Habibie memiliki terobosan besar dalam pengembangan teknologi di Indonesia. "Sayangnya ide, pemikiran dan karya prestasinya kurang dihargai di
negaranya sendiri. Habibie ditekan secara politik," ujarnya yang sempat 15 tahun bekerja di satu-satunya perusahaan penerbangan milik negara.
Arif menjelaskan, sejak tahun 1975, Habibie meletakan dasar-dasar pengemangan teknologi di Indonesia, sedangkan China baru memulainya tahun 1980-an. "Namun China yang melesat maju karena kebijakan pengembangan teknologinya didukung penuh pemerintah," jelas dia.
Berbeda dengan Indonesia. IPTN yang dianggap sebagai cikal bakal pengembangan teknologi transportasi udara dan dirgantara justru dipandang sebagai proyek mercusuar yang menghabiskan uang negara. "Akibatnya sekarang Indonesia sudah ketinggalan dari Malaysia, apalagi China dan Jepang," jelas Arif yang sempat merasakan kepemimpinan BJ Habibie di IPTN dulu.
Lebih lanjut Arif mengemukakan, Habibie saat itu tidak hanya mengebangkan sejumlah pesawat terbang, tapi merambah ke pembuatan satelit dan fasilitas ruang angkasa, serta peluru kendali(rudal). Terlebih saat ini ada putra bangsa yang bekerja di NASA. "Jadi teknologi Indonesia saat itu sudah cukup maju, tapi dalam perkembangan selanjutnya tak mulus," ungkapnya.
Saat Habibie menjabat sebagai Menristek di era pemerintahan Presiden Soeharto, IPTN memang mendapat dukungan penuh dalam mengembangakan pesawat terbang dan teknologi lainnya. "Tapi selanjutnya banyak tekanan politik kepada Habibie, begitu juga dari kalangan ekonom kapitalis yang menyudutkan IPTN sebagai proyek mercusuar hanya menghabiskan uang rakyat," jelas Arif.
Kata dia, Indonesia harus belajar dari pengalaman tersebut jika ingin teknologinya maju. "Teknologi
jangan dianggap enteng. Teknologi bisa menjadikan apa saja menjadi lebih mudah dan bernilai plus," terang Arif yang sempat aktif dalam Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan PT Dirgantara.
Lebih lanjut dia mengatakan, banyak orang Indonesia yang sekolah dan berprestasi di luar negeri namun saat kembali ke Indonesia kurang dihargai. Akibatnya, mereka memilih bekerja di perusahaan-perusahaan besar negara asing yang justru cerdik mengambil ide, pemikiran, dan karya-karya terbaik anak bangsa.
Sumber: OKEZONE
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment