PADANG - Sekitar 50 orang pasukan Indonesia dari Kompi Harimau Kuranji, Kecamatan Kuranji yang dipimpin oleh Letda Ahmad Husein berjalan menuju ke Rimbo Kaluang.
Dari 50 tentara tersebut hanya 15 orang pasukan yang membawa senjata api di antaranya sten, peluncur roket, dan selebihnya granat. Senjata tersebut hasil rampasan dari gudang senjata Jepang dan tentara Sekutu di beberapa tempat.
Dari pukul 16.00 WIB, saat itu hanya berjalan kaki ada yang mengenakan sepatu bahkan ada yang telanjang kaki, jalan setapak yang dipenuhi kerikil dan lumpur. Di setiap jalan yang dilalui banyak pemuda ikut bergabung dengan pasukan Kuranji sehingga jumlahnya mencapai ratusan.
“Itu saat penyerangan markas pasukan Inggris dan pasukan Gurka India di Rimbo Kaluang yang saat ini menjadi kawasan GOR Agus Salim Padang,” kata Sertu Purn Mawardi pada
okezone di rumahnya di Kelurahan Kuranji, Kecamatan Kuranji, Kota Padang.
Peristiwa itu terjadi pada September 1945. Tiba di Rimbo Kaluang sekira pukul 18.00 WIB, seluruh pasukan mempersiapkan strategi perang. “Saat itu Rimbo Kaluang hanya kebun karet milik orang Belanda. Jadi dari situ kami menyerang. Sementara pasukan Inggris dan India yang dibantu Belanda ada di seberang Sungai Bandar Bakali,” ungkar Mawardi yang kelahiran 17 Agustus 1926.
Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, bunyi ledakan dan senjata api saling menyahut dari seberang sungai, di situlah perang terjadi antara TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan tentara Sekutu. Pukul 00.00 WIB, Duarrrr, ledakan keras terjadi di Rimbo Kaluang ketika pasukan Sekutu meluncurkan mortil ke tentara Indonesia. Setelah ledakan terjadi api membumbung tinggi ke langit dan daerah sekitarnya menjadi terang.
“Ternyata satu anggota pasukan Harimau Kuranji bernama Rivai atau Bahar tewas terkena ledakan mortil. Tubuhnya hancur berserakan. Pokoknya sudah bercerai berai dari tubuhnya. Saat itu posisi saya sekitar 100 meter dari Rivai. Kalau saat jarkanya dari Kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, sementara Rifai berada di tugu dekat SPBU,” ungkap Mawardi yang bergelar adat Rajo bujang.
Komandan Ahmad Husein memerintahkan pasukan mundur dan mengumpulkan bagian-bagian tubuh Rivai yang kena mortil tersebut. “Setelah dilakukan konsolidasi dengan pasukan, Pak Husein saat itu memerintahkan untuk kembali ke markas di Kuranji sekitar 15 KM dari Rimbo Kaluang. Saat itu pukul 01.00 WIB, kami kembali ke ke markas dan pada pukul 06.00 WIB baru sampai,” katanya saat itu Mawardi masih berusia 19 tahun.
Pagi itu juga Rivai dikuburkan di lokasi yang saat ini menjadi Taman Makan Pahlawan Harimau Kuranji. “Kami tidak mengetahui berapa tentara sekutu yang mati, yang jelas tembak-menembak terjadi malam itu,” tuturnya. Menurut Mawardi, lokasi tempat ledakan yang menewaskan Rivai itu sudah ada tugu, bentuknya orang sebanyak 3 orang yang memegang senjata sten dan melempar granat.
Itulah sepenggal kisah sengit pengalamannya saat melawan sekutu setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Baginya, meski negara ini sudah memproklamasikan kemerdekaannya namun hingga tahun 1946 negara masih dijajah Jepang dan Belanda. Saat penyerangan itu terjadi beberapa teman Mawardi yang masih hidup hingga kini, yaitu Lettu Purn Arrahman, Kopral Purn Darwis dan Serma Purn M Rasyid, ketiganya sudah menjadi pensiunan veteran.
Mawardi yang saat ini menjadi penjaga Makam Pahlawan Harimau Kuranji bergabung dengan BKR pada tahun 1945 di bulan September saat Ahmad Husein ke Kuranji. Dia merekrut bekas-bekas pasukan Jepang (orang Indonesia yang masuk menjadi pasukan Jepang) ada dari Heiho, Gyugun (angkatan darat), Kaygun (angkatan laut) dan Zhugun.
“Rata-rata 90 persen pasukan BKR bekas tentara Jepang, karena Jepang kalah lawan Amerika, maka mereka menyerah dan tentara Indonesia yang masuk dalam tentara Jepang kembali membela tanah Air,” kata Mawardi.
Jabatan pertama yang diterima Mawardi sebagai penyelidik atau teliksandi (mata-mata) untuk pasukan BKR yang kemudian tahun tahun 1946 berubah menjadi TKR dan kembali
berubah menjadi TNI pada 1947. "Saat itu juga saya menjadi sekretaris nagari (sekretaris desa) dan merangkap menjadi teliksandi untuk pasukan Indonesia,” ungkapnya.
Ia sering meminta informasi dari orang Indonesia yang bekerja di pemerintahan Belanda. Informasi yang ia minta itu berupa kapan jadwal patroli atau operasi pasukan Belanda. “Saat itu Wali Kota Padang itu Pak Bagindo Aziz Chan. Dari beliau kami mendapat informasi gerakan pasukan sekutu dan NICA (Netherland Indies Civil Administration), kemudian saya sampai ke komandan saya. Penugasan ini saya berpura-pura mengurus surat saja atau jalan-jalan ke tempat teman-teman,” ujarnya.
Saat itu, lokasi pemerintahan Belanda terletak di rumah sakit tentara yang berada di Ganting Padang. “Kita juga harus melihat kondisi yang menyusup. Selain dari Pak Wali Kota, kita juga mendapatkan informasi dari orang Indonesia yang bekerja pada pemerintah Belanda tapi berpihak pada Indonesia,” ungkapnya.
Mawardi pernah diperiksa oleh pemerintah Belanda, karena saat itu menjabat sebagai pegawai sipil di pemeritahan Belanda, yaitu sekretaris wali nagari. Tapi ia bersyukur
Belanda tidak menahannya.
“Saat pemeriksaan dilakukan beberapa pasukan Belanda menanyakan saya, apakah Anda pemberontak Belanda atau mata-mata?” katanya menirukan pasukan Belanda yang menginterogasinya. “Saat itu saya menjawab, saya hanya pegawai sipil. Saya tidak pasukan pemberontak, tak lama hanya sekitar setengah jam saja diperiksa kemudian saya dilepaskan,” katanya.
Namun dia tidak berhenti menjadi teliksandi, meski sudah diperiksa oleh pasukan Belanda. Selain teliksandi, tiga jabatan yang terima sebagai mata-mata pasukan Indonesia, ia juga sekretaris wali nagari dan merangkap pasukan tempur. “Meski jadi tentara saat itu kami tidak mengharapkan gaji bahkan tidak digaji sama sekali, kami hanya satu tekad merdeka dari penjajah,” ujarnya.
Pada saat Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) 22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949 Mawardi bergabung, bahkan saat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) 15 Februari 1958 yang langsung dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein yang juga komandan Mawardi bergabung menjadi pasukannya dan lawannya adalah TNI dari Jawa.
“Kisah pahit yang saya alami saat itu adalah saya dituduh membunuh orang PKI, padahal saat itu saya tidak membunuhnya. Mereka yang memeriksa saya adalah Hattah Sujono. Dia penyidik, meski saya tidak melakukannya saya tetap dipaksa, akhirnya mereka menghukum saya selama 22 bulan,” tuturnya.
Penjara yang dipakai itu adalah sel TNI saat ini di Ganting atau yang berada di asrama TNI Parak Gadang Padang. “Istri saya Marawa menjenguk sekali sebulan ke sel tersebut, ia harus menjual kayu bakar untuk biaya saya dan beli makan saya selama di sel. Setelah saya keluar orang yang menuduh saya tersebut ternyata masuk sel karena terlibat mendukung PKI,” katanya.
Mawardi Rajo Mudo, ini sudah mengalami empat kali pernikahan selama masih muda, namun diakhiri perceraian. Istri terakhirnya adalah Marawa, ia menikah tahun 1949 dan
memiliki 11 anak (6 laki-laki dan 5 perempuan), dan 35 orang cucu.
Mawardi mendapat posisi itu karena saat kecil sudah mengecap pendidikan dasar, sudah bisa menulis dan membaca. Pada tahun 1934 Mawardi masuk Sekolah Desa dari kelas 1 sampai kelas 3 di Durian Taruang, Padang. Kemudian ia lanjutkan ke sekolah Governement Belanda selama dua tahun dari kelas 4-5 tamat. Setelah kemerdekaan, tahun 1950 melanjutkan pendidikan ke sekolah dagang tapi tidak tamat hanya satu setengah tahun, karena tidak sanggup menempuh perjalanan dan biaya sekolah.
Mawardi baru mendapatkan gaji pensiun sejak tahun 1969 sampai 1983. Gaji pensiun ini diperuntukkan untuk pejuang yang tidak memiliki Nomor Registrasi Pusat (NRP) kemudian diurus baru keluar. Tapi pada tahun 1983 gaji pensiun hanya Rp300 ribu terhenti karena perubahaan aturan.
Pada tahun 2008 sampai sekarang barulah pemerintah kembali memberikan uang pesiunannya melaluhi gaji pejuang veteran sebanyak Rp1,152 juta setiap bulan dan baru-baru ini ia mendapat gaji 13 sebanyak Rp930 ribu.
Meski sudah mendapat gaji sebanyak itu, namun untuk saat ini tidaklah mencukupi untuk keluarganya. Buktinya Mawardi, tidak bisa membangun rumah yang layak. Rumahnya saat ini saja hanya berukuran 4x4 meter di dalamnya hanya berisi lemari, tv, tempat tidur sekaligus ruang makan. Sementara untuk memasak ia menumpang bersama anaknya.
Bahkan rumah yang ditempat saat ini merupakan bantuan dari Departeman Sosial pada tahun 1979. Saat itu mendapat 1500 batu bata, dua kodi seng bersama kayunya, dua karung
beras serta peralatan dapur. Kini rumah yang dibangun dari bantuan tersebut sudah mulai rusak, tonggakya sudah dihinggapi rayap, seng atapnya sudah mulai bocor sementara dindingnya juga sudah banyak yang retak. Begitu juga lantainya sudah banyak yang bolong-bolong.
Untuk menopang hidup Mawardi bekerja sebagai penjaga dan pembersih Taman Makam Pahlawan Harimau Kuranji yang nota bene tempat kawan-kawan seperjuangannya ikuburkan. Satu bulan Pemerintah Kota Padang memberikan honornya sebanyak Rp350 ribu. Itu juga tidak rutin kadang sekali tiga bulan kadang dua kali sebulan. “Namanya honor nak,” katanya pada okezone.
Pada tahun 2008, bisa menghela napas karena diberi uang pada pejuang veteran sebanyak Rp6 juta. “Harga mahal apalagi negeri ini sering kena bencana uang itu habis untuk perbaikan rumah saja,” katanya.
Meski kulit sudah keriput namun dari raut wajahnya semangat perjuangannya masih tergurat. Satu per satu memorinya diingatnya dengan jelas. “Saat ini generasi muda kita sudah mulai pudar sikap nasionalisnya. Saatnya kita bersama-sama dalam membangun negara ini tanpa korupsi. Saya juga tidak mengharapkan gaji dari pemerintah. Yang jelas kami sudah berjuang," pungkasnya.
Sumber: OKEZONE
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment