Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS) Mufti Makaarim meminta pelaksanaan Undang-Undang Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Strategis Nasional untuk Pertahanan berada di bawah pengawasan presiden. "Karena lebih memaksa, dan lebih kuat dibanding kementerian," kata Makarim dalam Rapat Dengar Pendapat Umum RUU Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Strategis Untuk Pertahanan Nasional dengan Komisi Pertahanan DPR, Rabu, 23 Maret 2011.
Urgensinya presiden harus memegang langsung industri strategis, karena presiden memiliki kewenangan yang besar dalam sisi finansial dan secara politis. Industri pertahanan strategis adalah industri yang membutuhkan dukungan finansial yang sangat besar. Sementara presiden dianggap memiliki kewenangan lebih besar untuk menentukan anggaran dibandingkan level menteri. "Kalau menteri pertahanan kan tidak mungkin mendesak menteri keuangan," ujarnya.
Selain membutuhkan pendanaan yang besar, industri strategis pertahanan juga memiliki resiko yang besar pula. Menurutnya, resiko kerugian dalam industri pertahanan sangat besar, sehingga secara politis dibutuhkan lembaga yang memiliki kekuatan besar untuk mempertanggungjawabkannya. Selain itu, presiden juga dianggap lebih memiliki kekuatan untuk melakukan koordinasi dalam menentukan kebijakan industri pertahanan ini.
Sementara itu, Ketua Komisi Inovasi Nasional Zulha mengatakan, pendanaan untuk industri pertahanan Indonesia merupakan yang terendah di kalangan negara-negara ASEAN. "Hanya 0,6 persen dari GDP," ujarnya. Sementara negara-negara lain, seperti Malaysia dan Thailand, memiliki anggaran yang mendekati 2 persen dari GDP.
Kendala anggaran menjadi hambatan terbesar dalam pengembangan industri pertahanan. Ia mengatakan, Indonesia sebenarnya memiliki sumber daya yang besar untuk mengembangkan industri ini. "Infrastruktur Iptek kita sudah cukup memadai. Wind tunnel kita di Serpong terbaik di Asia. Untuk laut, kita bisa menggunakan Hidro Dinamic di Surakarta," ujarnya.
Ia berharap dengan lahirnya undang-undang ini, permasalahan pendanaan dapat dituntaskan. Senada dengan Zulha, Mufti menilai ketiadaan payung hukum berupa undang-undang menjadikan pengembangan industri pertahanan tersendat.
Namun, hal itu dibantah Anggota Komisi I dari Partai PKS, Yoyo Yusroh. Menurutnya, hambatan pengembangan industri strategis ini bukan dikarenakan tdk adanya payung hukum. "Tetapi tidak ada political will," ujarnya. Ia pun merujuk pada berkembangnya industri serupa di Amerika dan India yang tak memiliki dasar legislasi khusus untuk pengembangan industri ini. "Karena itu kami dukung lahirnya undang-undang ini," ujarnya.
Sumber: TEMPO
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment