PT DI pernah pailit didasarkan putusan Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) pada 4 September 2007. Namun, putusan itu dibatalkan pada 24 Oktober 2007. Walaupun begitu, PT DI, sampai sekarang, masih mengalami krisis finansial.
Di Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR yang diselenggarakan, Senin (21/3), dijelaskan, krisis finansial itu yang masih membuat BUMN itu menderita dan terancam bangkrut.
Hadir di RDP itu, Direktur Aircraft Service Budi Wuraskito, Direktur Aircraft Integration Budiman Saleh, Direktur Utama (Dirut) PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) (Persero) Boyke Mukijat, dan Deputi Bidang Usaha Strategis dan Manufaktur Kementerian BUMN Irnanda Laksanawan.
Direktur Aircraft Service DI Budi mengatakan bahwa PT DI membutuhkan konversi dana talangan menjadi Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp500 miliar. Hal itu sebenarnya bertentangan dengan pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo yang mengatakan, PT DI akan diberi PMN Rp127 miliar.
Menurut Budi, PT DI sebenarnya membutuhkan PMN Rp500 miliar untuk membuat ekuitas menjadi positif dan neraca menjadi bankable. Apalagi, finansial PT DI semakin parah. Terakhir pada 2010, PT DI mendapat rugi Rp126 miliar.
Finansial yang semakin buruk dapat dilihat dari ribuan pegawai yang belakangan ini terlambat dalam mendapat gaji. Gaji seharusnya dibayar pada 25 Februari 2011, tetapi baru dibayar pada 28 Februari 2011. Namun, hal itu hanya sekitar separuh. Sekitar separuh yang lain mendapat gaji mereka dengan sistem angsuran.
Dirut PPA Boyke menjelaskan, finansial PT DI memang semakin buruk sejak dukungan pendanaan disetop pada 1997. Lalu restrukturisasi dilakukan pada 2004. Namun, PT DI akhirnya tetap pailit pada 2007.
Menteri BUMN Mustafa Abubakar akhirnya menginstruksikan PPA membantu restrukturisasi dan revitalisasi PT DI. Instruksi atau penugasan itu dirilis tahun lalu, tepatnya pada 21 Oktober 2010.
PT DI juga terancam mengalami defisit cashflow (aliran kas) sedikitnya Rp454 miliar pada 2011. "PT DI terancam mengalami defisit cashflow sedikitnya Rp454 miliar pada 2011. Ada dua sebab. Pertama, beban operasional dan beban karyawan sekitar Rp457 miliar. Kedua, kewajiban masa lalu yang jatuh tempo yang berhubungan dengan operasional, termasuk Letter of Credit (L/C jatuh tempo) Rp652 miliar," jelas Boyke.
Selain itu, neraca PT DI tidak sehat di mana ekuitasnya negatif dengan Rp625 miliar dan utang Rp3,2 triliun, termasuk Subsidiary Loan Agreement (SLA) Rp1,06 triliun. Finansial semakin buruk dengan persediaan bahan bakunya yang memprihatinkan. Dari persediaan bahan baku Rp1,2 triliun, 37 persen dari hal itu atau sekitar Rp439 miliar adalah deadstocks (persediaan-persediaan yang telah kedaluarsa) dan obsolete parts (suku-suku cadang yang kuno).
Sumber: MEDIA INDONESIA
Berita Terkait:
1 komentar:
miris sekali ..coba kalo dana century bisa balik dan semuanya dipake buat suntik dana PT DI dan Pindad,,mungkin nasibnya tdk akan seperti ini..
Post a Comment