JAKARTA - Hampir enam tahun silam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan sebuah janji kepada masyarakat wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat, tepatnya di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau.
Berdialog dengan masyarakat, tokoh masyarakat dan ulama daerah itu, Presiden Yudhoyono mengutarakan komitmennya untuk secara maksimal mengelola wilayah perbatasan sebagai beranda Negara Kesatuan Republik Indonesia, tak hanya dari sisi pertahanan keamanan, namun juga sosial ekonomi.
Saat itu Presiden berjanji untuk membentuk badan pengelola perbatasan, pembangunan infrastruktur jalan, pembangunan kawasan perdagangan bebas di tapal batas, dan sejumlah program pemberdayaan masyarakat lainnya, termasuk layanan kesehatan dan pendidikan.
Dari semua janji yang disampaikan Yudhoyono kala itu, adalah membentuk badan pengelola perbatasan yang sudah direalisasikan. Melalui Peraturan Presiden No12/2010, Yudhoyono membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), dengan tujuan meningkatkan pengelolaan wilayah perbatasan RI dengan sejumlah negara, baik pertahanan keamanan maupun sosial ekonomi.
Masalahnya, efektifkah badan itu merealisasikan janji-janji yang telah terucap? Jika jawabanya ya, mungkin pernyataan Wakil Gubernur Kalimantan Barat Christiandy Sanjaya berikut patut dipertimbangkan.
Kata Christiandy, di daerahnya ada ungkapan "telah banyak pejabat yang mengunjungi wilayah perbatasan namun tidak ada kemajuan apa-apa". Yang lebih ekstrem dari itu, masyarakat setempat mulai beristilah "menunggu malaikat tiba di wilayah perbatasan".
"Konsep ini dan itu untuk mengembangkan wilayah perbatasan sudah banyak, hingga mencapai langit ketujuh. Namun, tidak satupun yang direalisasikan. Dan kondisi wilayah perbatasan kita tetap memprihatinkan," katanya.
Kepada Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono yang mengunjungi Kalimantan Barat beberapa waktu lalu, Christiandy mengatakan, keraguan pada efektivitas janji pemerintah itu memicu sejumlah warga negara Indonesia hijrah ke negara tetangga Malaysia untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
"Mereka terkadang berjualan di negeri sebelah, kembali ke kampungnya di Indonesia. Padahal, jika mereka bisa berjualan di sini, hasilnya untuk kita juga," katanya, prihatin.
Seorang perwira menengah TNI menambahi, memang tak ada yang salah jika ada warga negara Indonesia mencari penghidupan yang lebih baik. "Namun, dari sisi kedaulatan kondisi itu menunjukkan kita telah gagal memberikan rakyat hidup yang layak di perbatasan. Padahal, mereka bisa menjadi salah satu ujung tombak pengamanan wilayah terdepan kita," kata sang perwira.
Rusak
Dilihat dari 3.000 kaki di atas permukaan tanah, dari helikopter Super Puma dan Mi-17, wilayah perbatasan Kalbar-Serawak dipenuhi oleh hamparan pohon kelapa sawit, gaharu, dan lainnya. Tampak jalan-jalan tradisional yang kurang memadai untuk dilintasi kendaraan bermotor, termasuk patroli satuan tugas pengamanan perbatasan.
Panjang perbatasan Kalbar-Serawak adalah 966 kilometer. Wilayah sepanjang ini dijaga dan diawasi oleg 650 personel TNI yang berada di 32 pos pengamanan perbatasan. Mereka menjaga lima kabupaten, 116 desa dan sekitar 165 ribu penduduk berayoritas Suku Dayak dan Melayu, yang mendiami salah satu wilayah RI terdepan itu.
Jalan yang tidak memadai telah menciptakan kesenjangan pembangunan antarkabupaten. Tidak itu saja patroli pengamanan pun menjadi kurang maksimal. Itu juga kerap menghambat mobilitas pasukan, logistik, dan tindakan darurat.
Bandingkan dengan wilayah Malaysia di perbatasan itu. Jalan dan saran infrastruktur lainnya jauh lebih memadai dibandingkan di dalam wilayah RI. Komandan Satgas Pamtas Yonif 641/Bru Letkol Inf Trisaktiono di Pos Jagoi Babang mengungkapkan, dengan infrastruktur yang lebih baik seperti itu, Malaysia bahkan hanya perlu enam pos pengamatan perbatasan Kalbar-Serawak. Itu berarti seperlima yang dioperasikan Indonesia.
"Dengan sarana jalan yang memadai di Malaysia, operasi pengamanan perbatasan dapat dilakukan efektif dan efisien," kata Trisaktiono.
Dia mengutarakan satu misal. Katanya, ketika tentara Indonesia memerlukan 15-18 jam untuk berpatroli di sepanjang perbatasan RI Malaysia --dari Kabupaten Sanggau sampai Kapuas Hulu--, patroli tapal batas Malaysia hanya perlu 4 jam untuk menempuh jarak yang sama dari sisi Malaysia.
Tak hanya sarana infrastruktur, para prajurit TNI di wilayah perbatasan ini juga menghadapi persoalan lain, diantaranya soal sarana komunikasi.
Mengutip Panglima TNI, ternyata diketahui banyak radio komunikasi yang tidak beroperasi maksimal. Pun demikian dengan motor trail yang digunakan untuk memantau 116 desa di lima kabupaten di perbatasan RI-Malaysia yang tidak semua layak digunakan lagi.
Masih ada masalah lain, yaitu genset dan perahu yang diantaranya sudah masuk kategori rusak ringan dan berat.
Sehingga tak heran warga negara Indonesi di perbatasan hidup dalam kondisi infrastruktur yang minim, tak memiliki akses ke sumber daya ekonomi, dan sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan.
Sumber: REPUBLIKA
Berita Terkait:
1 komentar:
jadikanlah wilayah perbatasan sebagai garis depan pertahanan negara...harus ada koordinasi antara pemerintah pusat dgn daerah,susahnya krn gubernur dipilih lngsung oleh rakyat mereka agak ngeyel terhadap pemrintah pusat apalgi kalo beda partai..gimana mau maju negara ini..selamnya kita akan selalu ketinggalan oleh malaysia...
Post a Comment