Mudahnya menekuk para lanun Somalia ini ditegaskan Komandan Korps Marinir TNI Angkatan Laut, Mayor Jenderal (Mar) Alfan Baharudin dan Komandan Detasemen Jala Mengkara (Denjaka) Marinir TNI AL Kolonel (Mar) Suhartono. Alfan ditunjuk sebagai Komandan Satuan Tugas “Merah Putih”, nama satuan operasi pembebasan sandera Somalia. Adapun Suhartono, sebagai Komandan Satuan Penindak di lapangan yang membawahi 185 orang pasukan elite gabungan dari Denjaka Marinir TNI AL dan Satuan Penanggulangan Teror Kopassus TNI AD.
Pasukan TNI melakukan pengintaian awal terhadap kapal Sinar Kudus yang masih dikuasai perompak, pada 4 April 2011. Dari pengintaian udara menggunakan helikopter TNI AL, selain kapal Sinar Kudus yang sedang lego jangkar di lepas pantai Ceel Dhahanaan (El Dhanan), Somalia, juga tampak sejumlah kapal lain yang masih dikuasai para pembajak. “Awalnya ada delapan kapal bajakan, salah satunya Sinar Kudus,” kata Suhartono, yang saat itu memimpin pengintaian.
Setelah mengintai dari udara itulah pasukan TNI mempertimbangkan operasi militer pembebasan sandera dapat segera dilakukan. “Waktu itu sebetulnya sudah mengajukan saran. Tanggal 5 April itu adalah tanggal yang tepat untuk melakukan tindakan,” ujarnya dalam wawancara khusus Tempo di Markas Marinir Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu, 13 Mei 2011.
Pertimbangannya, di perairan Somalia saat itu dalam kondisi bulan mati. Sejak sore hingga esok paginya, bulan tak nampak sama sekali. “Sehingga gelap, ini menguntungkan untuk menyergap,” kata Suhartono. Kondisi permukaan air laut juga jernih dan datar layaknya cermin. “Jadi mau manuver apapun enak sekali.” Kondisi ini jauh berbeda ketika memasuki bulan Mei, cuaca memburuk dan air laut mulai bergelombang.
Keyakinan pasukan dapat segera merebut Sinar Kudus juga diperkuat sejumlah peralatan memadai yang dibawa saat itu, seperti tiga buah Sea Riders Marinir TNI AL. Speedboat dengan bantalan karet disekelilingnya itu bisa melesat diatas permukaan laut dengan kecepatan hingga 45 Nautical Mile perjam. Setiap Sea Riders diawaki tiga orang; motoris, pembantu motoris dan satu penembak senapan mesin. Boat ini juga bisa mengangkut 10 personil pasukan khusus. “Tiap pasukan kita bekali dengan senapan mesin,” kata Suhartono.
Sayangnya, keyakinan pasukan di lapangan kurang mendapat sokongan dari Jakarta untuk melakukan serangan militer terhadap perompak. “Kami minta izin, tapi ada pertimbangan lain dari Panglima TNI,” kata Alfan Baharudin. “Rencana itu harus disampaikan dulu ke Panglima TNI dan Presiden. Sebelum bertindak izin dulu ke atas.”
Jakarta rupanya mendapat informasi penempatan sandera Sinar Kudus dipisah-pisah. “Kondisi yang diharapkan Bapak Presiden, keberhasilan 70 persen itu jadi masih tanda tanya. Peluang keberhasilan tidak bisa dinilai,” kata Alfan. Karena informasi itulah Panglima TNI tak mengizinkan pasukan segera menyerang. “Karena yang tahu di depan. Saran tetap diajukan terus dari depan.”
Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menilai posisi sandera yang terpisah membuat upaya TNI melakukan serangan militer mengalami kesulitan dan beresiko tinggi. "Selain itu, kapal Sinar Kudus berada diantara delapan kapal lainnya. Jadi akses kami sulit," ujar Agus di Markas Besar TNI Cilangkap, awal Mei lalu. Banyaknya perompak yang berjaga di kapal juga menyulitkan penyerangan. "Ada sekitar 15-20 kelompok terorganisir dengan setiap kelompok terdiri dari 30-50 orang," katanya.
Informasi lain, para awak Sinar Kudus diacak dengan sandera negara lain dari kapal berbeda. “Mungkin lima (sandera) di kapal mana, lima dimana, sehingga kalau kita bebaskan Sinar Kudus, paling banter kita dapat sandera lima orang, sisanya dari negara lain. Ini kan rawan,” kata Suhartono.
Satgas juga beroleh informasi para sandera telah dibawa perompak ke Hobyo, sebuah camp di selatan El Dhanan. “Mungkin karena pertimbangan itu dijadikan acuan jangan menyerang dulu, karena data intelijen belum lengkap,” ujarnya.
Seperti halnya rencana merebut kapal dari tangan perompak, Satgas Merah Putih juga yakin dapat menduduki Pantai El Dhanan, basis para perompak. Pantai ini akan diduduki untuk mencegah bala bantuan dikerahkan perompak saat Sinar Kudus disergap oleh TNI. “Tidak sulit (menduduki El Dhanan),” kata Suhartono. “Tapi, semua kan tergantung keputusan dari atas. “Kalau diizinkan baru kita laksanakan.”
Informasi-informasi yang membatalkan rencana penyerangan terhadap perompak itu ternyata tak sepenuhnya akurat. Karena ketika Sinar Kudus berhasil dikuasai pasukan TNI, para awak kapal mengaku tak pernah dipisah-pisah dan selalu bersama di satu kapal. “Tidak benar, kami satu posisi saja, tetap di kapal,” tutur Masbukhin, mualim kapal Sinar Kudus kepada Tempo. “Entah informasi dari mana itu,” ujar Alfan Baharudin.
Sumber: TEMPO
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment