Penggunaan citra satelit itu sudah diusulkan. Hanya yang jadi masalah, papar Agus, biaya sewa satelitnya yang mahal. Biaya itu memberatkan jika dibebankan pada institusi yang berkepentingan baik itu TNI AL atau Kementerian Kelautan dan Perikanan. ”Toh hasilnya bukan untuk Angkatan Laut, bukan untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, tapi semua isntisusi itu mengunkan itu,” katanya.
Agus mengatakan, saat ini pengawasan perairan Indonesia atas kehadiran kapal asing masih mengandalkan kehadiran kapal perang TNI AL. Memperbanyak kapal perang untuk mengawasi lautan Indonesia jadi tidak efektif mengingat luas perairan Indonesia.
Di sisi lain, lanjutnya, TNI AL mengalami kendala keterbatasan kekuatan kapal perangnya yang rancangannya saat ini hanya untuk mengawasi terus-menerus wilayah yang masuk kategori rawan strategis. ”Daerah yang tidak kiat anggap rawan, kita masih laksanakan patroli sekali-kali,” katanya.
Menurut Agus, penggunaan teknologi itu akan efektif untuk mengawasi perairan Indonesia dari pencurian ikan ilegal yang menjadi masalah Indonesia saat ini. Sistem pengawasn kapal penangkap ikan legal saat ini mengandalkan sistem yang dikembangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan pemasangan transponder pada kapal penangap ikan yang memiliki ijin tangkap.
Sistem milik Kementerian Kelautan itu hanya mampu mendeteksi kapal penangkap ikan yang berijin legal. Padahal, paparnya, yang diinginkan adalah mendeteksi kapal penangkap ikan yang ilegal. Fasilitas pengawasan via citra satelit dinilainya bisa menambal kelemahan itu.
Dengan memadukan dua sistem itu, dia meyakini, Indonesia bisa dengan mudah membedakan mana kapal penangkap ikan yang tidak berijin. ”Usul itu terus kita bahas, hanya sekarang ini kita masih peru bicara, mari kita adakan bersama-sama,” katanya.
Sumber: TEMPO
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment