Pada awal dekade 1960-an Perang Dingin sedang memanas. Di tengah kekacauan tersebut, Indonesia bisa mempertahankan posisi netral. Bahkan Blok Barat dan Timur berlomba-lomba memasok senjata kepada pemerintahan Soekarno demi mendapat simpati.
Ketika itu Indonesia sedang menghadapi kampanye dekolonisasi untuk merebut Irian Barat dari Belanda. AS dan Uni Soviet berlomba-lomba merebut hati Indonesia. Walhasil TNI pun memiliki pasokan senjata canggih pada zamannya dan menjadi salah satu kekuatan utama di bumi selatan.
Misalnya, ada kapal selam dari Rusia, kapal penjelajah KRI Irian, pesawat strato-bomber TU-16, Ilyushin, hingga pesawat tempur Mig 21. AS memasok pesawat-pesawat transportasi seperti C-130 Hercules. Inggris pun memasok pesawat intai Gannet yang membuat Belanda murka. Sebagai sesama anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Belanda merasa dikhianati oleh Inggris.
Singkatnya, negara tetangga, termasuk Australia, pun enggan berurusan dalam konflik terbuka dengan Indonesia. Pada satu kesempatan satuan bomber TNI AU pernah mengedrop sampah-sampah dengan merek barang buatan Indonesia di atas Benua Australia sebagai penangkal agar Australia tidak ikut campur mendukung Belanda dalam persoalan Papua. ”Itu sebagai peringatan. Sampah saja kita bisa drop, apalagi bom,” kata seorang purnawirawan TNI-AU dalam satu kesempatan.
Saat bersikap netral, postur pertahanan Republik Indonesia pun menjadi kuat.
Kemunduran Orde Baru
Situasi berubah drastis seiring dengan munculnya rezim Orde Baru. Indonesia secara tak resmi menjadi bagian dari Blok Barat. Praktis semua kebutuhan persenjataan pun mengandalkan pasokan AS, Inggris, dan sekutu.
Pesawat-pesawat asal Blok Timur pun tak bisa dipakai karena pasokan suku cadang dan senjata baru terhenti pada awal tahun 1970-an.
Indonesia melengkapi diri dengan arsenal buatan Blok Barat. Namun, Indonesia tak memiliki keleluasaan dalam menggunakan peralatan senjata itu. Saat rangkaian operasi militer di Timor Timur berlangsung, AS langsung menjatuhkan embargo atas sejumlah peralatan TNI.
Laksamana Pertama (Purn) Hussein Ibrahim, yang aktif di Departemen Pertahanan semasa kepemimpinan Jenderal Edi Sudrajat (almarhum), mengisahkan, pembelian senjata dari Blok Timur tidak mengenakan persyaratan yang memberatkan.
”Sebagian senjata selalu ditawarkan agar dapat dibuat dengan lisensi lokal di Indonesia. Mereka juga tidak melarang jika senjata tersebut digunakan dalam konflik melawan kepentingan Blok Timur,” kata Hussein.
Pada awal tahun 1990-an, setelah Perang Dingin berakhir, barulah TNI kembali membeli persenjataan dari Rusia. Salah satu arsenal yang dibeli adalah varian tank-tank BTR yang kini digunakan Marinir TNI AL.
Kondisi itu sungguh kontras jika kita bandingkan dengan penggunaan tank-tank Scorpion buatan Inggris dalam Darurat Militer di Aceh tahun 2003. Ketika itu Inggris memprotes penggunaan tank-tank Scorpion.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro seusai seminar ASEAN Defense Minister Meeting (ADMM) di Kementerian Pertahanan, Senin (15/11), menegaskan, strategi pertahanan Indonesia berpegang pada prinsip bebas dan aktif.
”Kita sedang menyiapkan pembangunan kapal selam dan kapal perang dengan mitra asing. Demikian pula rencana kerja sama pasukan khusus dengan pasukan China. Prinsip bebas dan aktif kini kita kedepankan,” kata Purnomo menjelaskan rencana pembuatan kapal selam dan kapal perang dengan salah satu negara Blok Timur.
Bersikap netral dan didekati negara-negara kuat memang menjadi solusi bijak strategi pertahanan Indonesia, tetapi independensi harus dijaga.
Sumber : KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment