Wajah koran The Age edisi Jumat (11/3/2011)
Setelah teknologi perang nuklir, dunia mengenal istilah baru, perang asimetri atau assimetric warfare. Perang asimetri berlangsung dalam pelbagai mandala, seperti pemberitaan media massa, jejaring sosial dunia maya, tanpa satuan tempur, dan terkadang tanpa aktor negara sebagai belligerent atau pihak yang bertempur.
Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Samsoedin yang ditemui di Jakarta, Senin (14/3) malam, mengatakan, dunia strategi dan pertahanan sedang memasuki babakan baru, yakni perang asimetris. ”Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak hal yang terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media digunakan sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan menghadapkan senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara,” ujarnya.
Ia mengingatkan, negara yang secara ekonomi dan kesenjataan lemah adalah sasaran utama perang asimetris. Sebagai contoh, media internet atau media massa tanpa sadar dipakai untuk memengaruhi cara berpikir atau melemahkan bangsa.
Tayangan sinetron yang menjadi candu bagi warga menengah ke bawah, dengan cerita tentang bagaimana orang miskin mendadak kaya serta perselingkuhan, adalah contoh dari memengaruhi cara berpikir. ”Salah satu cara yang dipakai dalam perang asimetris adalah merusak nalar berpikir,” tegas Sjafrie.
Dalam kondisi pikiran yang diracuni tayangan audiovisual yang memberi pesan hidup dapat berubah seperti disulap tanpa harus kerja-keras, tak heran generasi muda Indonesia lebih memilih menjadi pemain sinetron dibandingkan belajar menjadi cendekiawan kelas dunia!
Terkait pemikiran strategis dan nonkonvensional, anggota DPR, Gandjar Pranowo, dalam Seminar Perbatasan Indonesia, beberapa waktu lalu, membenarkan pentingnya membangun strategi berpikir asimetris.
”Perbatasan tak bisa dipagar dengan tembok atau tentara. Strategi menjaga daerah terluar adalah dengan membangun kedaulatan ekonomi demi mendukung kedaulatan negara. Cara berpikir itulah yang harus diterapkan dalam mengelola wilayah terluar dan membangun kedaulatan Republik Indonesia,” kata Ganjar.
Negara makmur disegani dan menjadi idola bagi rakyat yang miskin dan terabaikan. Fenomena itu terlihat di perbatasan Meksiko-Amerika Serikat, Polandia-Jerman, dan Indonesia-Malaysia. Rakyat di negara terbelakang selalu kagum pada wilayah yang dianggap makmur.
Direktur Institute for Defense Security and Peace Studies Mufti Makarim mengatakan, belajar dari kasus WikiLeaks dan pemberitaan tentang pejabat Indonesia di media Australia, masyarakat harus belajar tentang fungsi diplomatik. Semua korps diplomatik suatu negara harus mencari tahu data strategis di negara penempatan. Ini adalah bagian dari perang asimetris itu.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment