NEW YORK--MI: Indonesia berharap konferensi pengkajian-ulang Kesepakatan Anti-Penyebaran Nuklir (NPT), yang dimulai di New York, Senin (3/5) hingga 28 Mei, tidak mengulang kegagalan seperti konferensi sebelumnya.
Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa menyatakan Indonesia menginginkan konferensi lima tahunan itu kali ini dapat benar-benar menghasilkan kesepakatan di antara negara-negara penandatangan NPT dalam melaksanakan berbagai ketentuan traktat tersebut.
"Kita tidak ingin melihat itu terulang. Kita ingin minimum tahun 2010 ini kita ingin menegaskan kembali komitmen yang dicapai tahun 2000 mengenai masalah 13 langkah praktis ke arah perlucutan senjata. Itu yang minimum," kata Menlu ketika ditemui setelah mengikuti pembukaan konferensi kedelapan Peninjauan Ulang NPT di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, Senin.
13 langkah praktis yang dimaksud Marty adalah langkah-langkah yang disetujui pada Review Conference tahun 2000, antara lain mencakup menandatangi dan meratifikasi CTBT (Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty); menghentikan uji-coba peledakan senjata nuklir; melakukan negosiasi menyangkut perlucutan senjata; dan memusnahkan senjata nuklir.
Marty hadir dalam NPT Review Conference tahun 2010 dengan dua kapasitas, yaitu sebagai Ketua Kelompok Kerja Gerakan Non Blok (GNB) untuk Perlucutan Senjata dan sebagai wakil pemerintah Indonesia.
Saat menyampaikan pidato dalam acara pembukaan yang dihadiri oleh Sekretaris PBB Ban Ki-moon dan pejabat tinggi dari setidaknya 100 negara, termasuk Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, Menlu Marty sebagai Ketua Pokja GNB menyampaikan kekecewaan kelompok yang beranggotakan 118 negara berkembang itu tentang kegagalan Konferensi Tinjau Ulang NPT tahun 2005 mengeluarkan hasil yang diharapkan.
Kegagalan dianggap merugikan proses pembicaraan serius menuju implementasi dan komitmen yang dicapai secara konsensus pada konferensi sebelumnya pada tahun 1995 dan 2000.
Kekecewaan yang sama soal konferensi tahun 2005 juga diutarakan Sekjen PBB Ban Ki-moon dalam pidato pembukaannya sebelum Marty mendapat giliran berpidato.
Saat menjawab pertanyaan wartawan setelah mengikuti acara pembukaan, Menlu Marty menolak menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan gagalnya Konferensi tahun 2005.
"Masa lalu adalah masa lalu. Sekarang adalah sekarang. Mungkin kita tidak perlu terlalu mencari atau menuduh siapa yang lebih bertanggung jawab. Tapi faktanya memang 2005 kemarin terjadi kegagalan," ujarnya.
Momentum
Yang penting, tegas Menlu Marty, semua pihak perlu memanfaatkan momentum saat ini yang dinilai cukup menjanjikan dalam bidang perlucutan senjata untuk membuat kemajuan dalam implementasi NPT.
Ia merujuk kepada KTT Pengamanan Nuklir di Washington, konferensi tingkat menteri di Tehran serta tercapainya kesepakatan antara Amerika Serikat dan Rusia untuk mengurangi senjata nuklir kedua negara melalui sebuah traktat (START), sebagai beberapa kemajuan yang perlu dimanfaatkan sebagai momentum.
Dalam memanfaatkan momentum tersebut, Indonesia sendiri antara lain pada pekan lalu telah mengumumkan rencananya mensahkan Kesepakatan Pelarangan Menyeluruh Uji-coba Nuklir (CTBT atau Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty).
"Itu kontribusi nyata kita --di samping peran kita sebagai koordinator (kelompok kerja tentang perlucutan senjata) Gerakan Non-Blok," kata Marty.
Traktat pelarangan uji-coba nuklir yang disahkan pada 10 September 1996 itu sudah ditandatangani oleh 182 negara namun hingga kini belum bisa diberlakukan.
Kesepakatan tersebut akan mulai diberlakukan jika 44 negara yang ada di dalam daftar sebagai negara pemilik teknologi nuklir di dunia sudah meratifikasinya.
Saat ini, dari 44 negara tersebut, tersisa sembilan negara yang belum meratifikasi kesepakatan itu, yaitu Indonesia, Amerika Serikat, China, Korea Utara, Iran, Israel, Pakistan, India dan Mesir.
Sumber: MEDIA INDONESIA
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment