Seperti halnya wilayah perbatasan lain, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, yang wilayahnya berada di perbatasan Indonesia-Filipina, hingga saat ini masih tergolong daerah tertinggal. Tampak perahu nelayan di tepian pantai Pulau Morotai, pekan lalu.
Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara, menjadi saksi sejarah Perang Dunia II yang mempertemukan Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya pada 1944-1945. Pulau di tepian Samudra Pasifik, yang berbatasan dengan wilayah Filipina, itu dirasa sangat strategis sehingga mereka memperebutkannya. Ironis, sepanjang hampir 65 tahun kemerdekaan Indonesia, Morotai seperti tidak memiliki arti.
Semasa pendudukan di Indonesia, Jepang menjadikan Morotai sebagai salah satu basis militer di Samudra Pasifik. Sekitar 200.000 tentara Jepang ditempatkan di sana sejak 1942. Begitu strategis keberadaan Pulau Morotai sehingga dua tahun berikutnya Amerika Serikat (AS) dan sekutunya mengerahkan kekuatan besar-besaran untuk merebut Morotai.
Perang hebat berkecamuk di sana selama lebih kurang setahun. Pasukan AS yang dipimpin Jenderal Douglas Mac Arthur memenangi pertempuran itu dan menjadikan Morotai sebagai basis militer sekaligus pusat komando di Asia Pasifik. Mereka pun membangun tujuh landasan pacu pesawat dan pelabuhan untuk basis militer AS dan sekutunya dalam membangun serangan untuk menaklukkan Jepang. Setidaknya 250 pesawat tempur dan puluhan ribu tentara AS dan sekutu pernah mendarat di pulau itu.
Di bawah pemerintahan republik ini, Morotai yang memiliki luas 2.456 kilometer persegi itu seperti dibiarkan begitu saja. Baru beberapa tahun belakangan Morotai mendapat perhatian, bahkan dimekarkan menjadi kabupaten pada 24 Maret 2009.
Minim infrastruktur
Kabupaten Pulau Morotai memiliki 33 pulau, 7 di antaranya berpenghuni. Penduduk Kabupaten Pulau Morotai yang mencapai 63.000 jiwa dan tersebar di 5 kecamatan dan 64 desa hingga saat ini masih menikmati pelayanan publik yang minim.
Sarana pendidikan yang tersedia hanya satu SMK, tiga SMA, empat SMP, dan beberapa SD. Sarana kesehatan yang ada hanya satu rumah sakit daerah, yang merupakan peningkatan dari puskesmas, dan satu rumah sakit milik TNI Angkatan Udara. Itu pun paramedis yang ada tidak setiap hari di rumah sakit itu untuk melayani masyarakat.
”Kitong (kami) kalau sakit parah harus dibawa ke rumah sakit di Tobelo, naik perahu tiga jam kasih ongkos Rp 75.000 atau naik speedboat dua jam kasih ongkos Rp 100.000,” kata Alimudin (40), warga Morotai yang bekerja sebagai penarik becak bermotor (bentor).
Infrastruktur listrik tenaga diesel yang menerangi Morotai juga masih minim. Listrik hanya menyala pada pukul 17.00 hingga pukul 13.00. Jika gelombang laut tinggi dan pasokan bahan bakar minyak yang diangkut kapal terganggu, hampir dipastikan tempo pemadaman listrik berlangsung lebih lama.
Jalan yang teraspal juga masih minim dan belum menjangkau wilayah bagian utara Morotai. Sarana penunjang transportasi lain, seperti bandara dan pelabuhan, juga belum tertata secara optimal.
Penjabat Bupati Morotai Sukemi Sahab dan Gubernur Maluku Utara Thaib Armayin mengakui wilayah perbatasan di Morotai selama ini belum banyak tersentuh pembangunan. Padahal, potensi sumber daya alam Morotai cukup besar. Sejumlah barang tambang, seperti batu bara, emas, mangan, dan nikel, ada di sana. Sumber daya laut, berupa ikan dan mutiara, juga melimpah. Justru yang mengeksploitasi dan mengambil manfaat dari sumber daya alam itu didominasi pihak asing.
”Masyarakat merasa tidak memperoleh sesuatu dari eksploitasi asing sehingga timbul keresahan. Pemerintah daerah selama ini juga hanya menerima royalti yang sangat sedikit kontribusinya bagi pembangunan,” kata Thaib.
Dari sisi pariwisata, Morotai menyimpan potensi alam bawah laut yang masih terjaga terumbu karangnya. Belum lagi pesona puing kapal perang dan pesawat tempur yang tenggelam semasa Perang Dunia II.
Ironinya, potensi wisata yang demikian besar itu belum menjadi daya tarik wisata dan belum dipromosikan dengan baik. Wisatawan mancanegara, Nico dari Italia dan Catherine dari Belgia, yang dijumpai di Morotai, pekan lalu, misalnya, justru datang karena kesunyian, keterpencilan, dan kealamian pantai di sana.
”Kami mendapat informasi wisata seputar Morotai dari buku dan situs Lonely Planet,” kata Nico.
Dengan potensi alam yang demikian besar, kata Thaib, Morotai seharusnya layak dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Apalagi, Morotai secara geografis berada di jalur perdagangan internasional di Samudra Pasifik.
Di sisi lain, sarana dan personel pengamanan wilayah perbatasan laut di Morotai juga minim. Sejauh ini hanya ada tiga prajurit Marinir yang ditempatkan untuk menjaga wilayah laut Morotai dan Halmahera Utara, tanpa ditunjang sarana untuk berpatroli. Frekuensi patroli kapal perang TNI Angkatan Laut juga jarang. Tak mengherankan jika pencurian ikan oleh kapal asing atau penyelundupan barang dan imigran gelap masih terus terjadi.
Ketua Komisi I DPR Kemal Azis Stamboel menilai kondisi wilayah perbatasan secara umum masih memprihatinkan. Karena itu, selayaknya pemerintah memberikan perhatian khusus dan menjadikan pembangunan wilayah perbatasan sebagai prioritas.
Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengakui, setiap kementerian memiliki konsep pembangunan Morotai, tetapi masih diperlukan percepatan untuk mengimplementasikannya.
Dalam kunjungannya beberapa waktu lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menyebut Morotai sebagai mutiara terpendam di bibir Samudra Pasifik. Namun, jika potensinya tidak kunjung digarap, mutiara itu terpendam terus.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment