Ambon, Kompas - Perjanjian perbatasan antara Republik Indonesia dan Republik Timor Leste mendesak untuk segera dibuat. Peningkatan arus lalu lintas barang dan manusia di wilayah kedua negara rentan terhadap pelanggaran hukum dan kedaulatan apabila tak segera dibuat perjanjian perbatasan.
Rapat terbatas Satuan Tugas Keamanan Laut III yang mengoordinasikan persoalan keamanan dan penegakan hukum laut di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) III di Ambon, 23-24 Februari, merekomendasikan agar pemerintah pusat—dalam hal ini Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan—segera merundingkan perjanjian perbatasan dengan Timor Leste.
”Persoalan keamanan laut di wilayah timur Indonesia yang menonjol antara lain adalah permasalahan lintas batas negara. Di perairan Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Maluku Barat Daya, lintas batas ini meningkat. Padahal, antara Indonesia dan Timor Leste belum ada perjanjian perbatasan,” kata Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) Laksamana Madya Y Didik Heru Purnomo di Ambon, Jumat (25/2).
Persoalan lintas batas kedua negara merugikan masyarakat Indonesia. Misalnya, wilayah tangkapan nelayan tradisional Indonesia sering kali dimasuki nelayan dari Timor Leste.
Menurut Didik, Bakorkamla sebagai lembaga koordinasi yang bertanggung jawab terhadap keamanan wilayah perairan laut Indonesia diminta bantuan pemangku kepentingan di daerah agar persoalan lintas batas ini segera ditindaklanjuti pemerintah pusat.
Terkait dengan persoalan lintas batas, Bakorkamla tetap akan menindak imigran ilegal yang masuk ke Indonesia melalui perairan laut. Namun, Bakorkamla tetap mengedepankan dua pendekatan, baik melalui Undang-Undang Keimigrasian maupun hukum internasional terkait dengan konvensi tentang pengungsi dan pencari suaka.
Imigran ilegal
Kepala Pusat Penyiapan Kajian Keamanan Laut Bakorkamla Brigjen (Pol) Benny Mokalu mengaku, penindakan terhadap imigran ilegal cukup sulit. Setiap tahun wilayah Indonesia menjadi basis masuk imigran gelap, baik dari wilayah Timur Tengah, Asia Selatan, dan China, untuk ke Australia.
”Imigran tersebut memang punya hak, surat-surat (paspor) mereka lengkap. Bahkan ada yang dibekali dengan surat dari UNHCR. Ini kan persoalan kemanusiaan juga. Memang ada permintaan dari Australia, agar Indonesia tidak terlalu membuka keran masuk imigran ilegal itu ke negara mereka,” kata Benny.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment