Menanggapi berita Kompas (Jumat, 11/3) tentang penggunaan APBD di Kabupaten Kutai Timur untuk kapal patroli TNI AL, Agus mengatakan, secara prinsip penggunaan APBD untuk TNI salah. Sebelumnya, Pemkab Kutai Timur memberikan bantuan satu unit kapal patroli. Kerja sama itu dianggap melawan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 66 karena TNI disebutkan hanya boleh dibiayai oleh APBN. Menurut Agus, kalau ada bantuan dari pemerintah daerah, hal itu harus dilakukan lewat pemerintah pusat (Kementerian Pertahanan).
Namun, Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan Moch Jurianto menyatakan, TNI boleh saja bekerja sama dengan instansi seperti pemda dalam rangka mempertahankan negara. Hal itu diatur dalam UU No 34/2004 tentang TNI. ”Jadi kerja sama TNI AL dengan Pemda Kutai Timur boleh, asalkan dalam menjalankan tugas tidak boleh berorientasi kedaerahan,” ujarnya.
Ia mengatakan, bentuk kerja sama itu harus dilihat dalam kerangka mengamankan potensi laut di wilayah tersebut. Oleh karena itu, kerja sama itu dianggap Jurianto mengemban misi undang-undang dalam konteks pertahanan rakyat semesta. Apalagi, ketika pemda mengalokasikan dana, itu tentunya memiliki pertimbangan akan kebutuhan daerah. ”Tentunya mereka memiliki forum untuk membahas hal itu dengan matang,” katanya.
Ia menekankan, aparat yang bertugas operasi pengamanan dan penegakan hukum di kapal tersebut juga harus berasal dari TNI AL. ”Kalau yang tidak berhubungan dengan penegakan hukum dan pengamanan, boleh dari sipil,” katanya. Namun, Jurianto memberi catatan bahwa bukan berarti kapal itu milik TNI AL.
Saat ditanya kemungkinan daerah membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) lain seperti pesawat tempur atau kapal perang, Jurianto mengatakan, ada batasan-batasan tertentu. Batasan itu ada dalam peraturan Menteri Pertahanan tentang persenjataan. ”Tapi, kalau kapal patroli masih boleh,” katanya.
Agus Widjojo mempertanyakan batasan-batasan yang menurutnya tak tepat jika didefinisikan sebagai benda. ”Coba dites, kalau kapal harus dibawa berlayar komandan kapalnya ke Maluku karena ada peristiwa, boleh enggak?” katanya.
Menurut dia, batasan dalam tata negara diatur dalam kewenangan, bukan barang per barang. Kerja sama yang dilakukan adalah dalam bentuk operasional. Namun, tidak boleh dalam bentuk pengadaan alutsista. ”Sishankamrata itu juga harus lewat pemerintah pusat, misalnya diatur lewat Komponen Cadangan, tidak bisa langsung,” ujarnya.
Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul mengatakan, kapal dari Kutai Timur tersebut hanya pinjam-pakai dan hanya untuk patroli terbatas. Karena ada konsep keterpaduan, di kapal itu juga ada aparat sipil.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment