Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Imam Sufaat (kiri) berbicara dengan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar seusai serah terima dua pesawat Boeing 737-400 di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (9/3).
Jakarta - Pencegatan untuk memaksa pesawat Pakistan pembawa polisi PBB Pakistan mendarat di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (7/3), dinilai berlebihan. Pengamat penerbangan, Dudi Sudibyo, yang dihubungi di Jakarta, Rabu, menjelaskan, tidak seharusnya pencegatan terhadap pesawat sipil tidak bersenjata dilakukan dua pesawat jet tempur Sukhoi.
”Langkah pertama seharusnya tower (Bandara) Hasanuddin memerintahkan pesawat tersebut turun karena dinilai melanggar. Selanjutnya, dikirim satu pesawat untuk mencegat. Kalau membandel, barulah ditembak,” kata Dudi.
Menurut Dudi, langkah pertama, yakni peringatan menara (tower) tidak dilakukan. Lagi pula, pesawat Boeing 737-400 Pakistan Airways itu harus mengisi ulang bahan bakar di wilayah Republik Indonesia.
”Sebaliknya, pilot Pakistan tersebut seharusnya mengajukan izin mengalami masalah tech- nical sehingga dibenarkan mendarat di wilayah Indonesia. Proses terbang di wilayah Indonesia seperti waktu kita mengevakuasi WNI dari Mesir pasti sudah dipersiapkan saksama. Kalau ada masalah cuaca atau teknis, tentu dibenarkan mendarat (divert) di wilayah yang dilewati dalam jalur penerbangan,” ujar Dudi.
Kepala Staf TNI AU Marsekal Imam Sufaat yang ditemui di sela-sela penyerahan dua pesawar Boeing 737-400 dari Garuda Indonesia Airways ke Skuadron Udara 17 di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, mengatakan, sebelum dilakukan pencegatan, pihaknya sudah memonitor kedatangan pesawat Pakistan dari arah Malaysia ke Timor Leste.
”Ketika itu ada pesawat kita yang sedang latihan dari Pangkalan Udara Hasanuddin. Karena hampir habis bahan bakar, tidak dicegat,” kata Imam.
Dia mengatakan, pesawat tersebut akhirnya diizinkan terbang setelah mengurus izin pada tengah malam dan membayar denda Rp 120 juta.
Beberapa waktu silam, pesawat carter yang membawa rombongan pejabat dari Negara Bagian Malaka, Malaysia, juga dipaksa turun di Pangkalan Udara Juanda, Surabaya, karena melanggar wilayah udara Indonesia.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment