Kecemasan itu terbaca lewat pernyataan politisi Partai Republik, Senator John McCain, Selasa (8/3) di Washington DC. Dia meminta AS dan Australia meningkatkan kerja sama militer demi menghadapi pengaruh China di kawasan Asia-Pasifik.
Pernyataan itu dilontarkan McCain dalam jumpa pers bersama Perdana Menteri Australia Julia Gillard. Sejak Senin, Gillard melawat ke AS. ”Saya pikir AS dan Australia harus bekerja sama lebih aktif lagi demi memastikan tidak ada ketegangan-ketegangan yang akan terjadi di kawasan itu,” ujar McCain, yang mewakili Partai Republik di Komite Senat terkait Angkatan Bersenjata AS.
McCain berbicara seusai mendampingi Gillard dalam pameran foto peringatan 60 tahun hubungan militer Australia-AS. Angkatan bersenjata kedua negara telah lama menjalin kerja sama dalam sejumlah peperangan, dari perang Vietnam, Irak, dan belakangan Afganistan.
Dalam kesempatan itu McCain menegaskan tak ada satu negara yang bisa menjadi sekutu paling dekat bagi AS selain Australia.
Kecemasan McCain dan AS secara umum beralasan. China selama ini agresif memacu peningkatan anggaran belanja sektor pertahanan. Pada tahun 2011 anggaran persenjataan naik 12,7 persen.
Menurut McCain, negara komunis itu tengah berupaya memacu kekuatan angkatan bersenjata untuk menunjukkan kehadirannya di beberapa kawasan sengketa macam Kepulauan Spratly, yang selama ini juga diklaim sejumlah negara kawasan Asia Tenggara.
”Namun, saya bukan hendak memprediksi bahwa konflik akan terjadi. Hal yang ingin saya katakan, cara terbaik untuk mencegah kemungkinan itu adalah AS dan Australia harus menegaskan kejelasan prinsip dasar yang juga harus diikuti negara lain,” ujarnya.
McCain meminta Australia bersama-sama AS memastikan China ikut mencamkan prinsip kebebasan di laut menyusul klaim Beijing sebelumnya yang menyebut kawasan Laut China Selatan sebagai ”zona spesial” bagi China.
Senin lalu, seusai bertemu Presiden Barack Obama, PM Gillard menyatakan ada banyak hal harus dilakukan pada masa mendatang, termasuk dalam konteks kerja sama terkait postur pertahanan kedua negara.
Kesenjangan berkurang
Sementara itu, dalam laporan tahunan perimbangan militer global oleh lembaga International Institute for Strategic Studies (IISS), yang berbasis di London, Inggris, disebutkan belakangan terjadi pergeseran peta kekuatan ekonomi dunia. Hal ini juga berdampak langsung terhadap perubahan peta kekuatan militer global.
Kondisi itu sekaligus melenyapkan kesenjangan kemampuan strategis yang dimiliki sejumlah negara. Kondisi seperti itu terjadi karena sejumlah negara Barat terpaksa mengurangi besaran anggaran pertahanan akibat krisis ekonomi.
Akan tetapi, pada saat bersamaan, sejumlah negara kekuatan ekonomi baru di kawasan Asia dan Timur Tengah berupaya meningkatkan kemampuan pertahanan dan persenjataan secara signifikan. Ini tampak dari kenaikan alokasi anggaran belanja pertahanan yang bisa mencapai dua digit per tahun, seperti dilakukan China.
Menurut Direktur IISS John Chipman, kondisi seperti itu juga bisa berdampak pada peningkatan ketegangan sekaligus konflik antarnegara seiring dengan perubahan peta strategis global.
”Akibat tekanan ekonomi yang ada, sejumlah negara Barat yang dahulu menguasai dan unggul di bidang teknologi persenjataan sekarang malah tertinggal,” ujar Chipman.
Sebagai contoh, kini teknologi pesawat tempur siluman (stealth) dan teknologi perang siber tidak lagi dimonopoli oleh AS. China juga sudah memiliki kemampuan itu. ”Padahal, selama ini AS selalu menyatakan tidak akan pernah membiarkan negara mana pun mengungguli mereka di bidang itu,” ujar Chipman.
Sementara itu, Biro Investigasi Federal AS (FBI) menangkap seorang warga negara China, Liu Sixing, karena diketahui menyelundupkan informasi sensitif terkait teknologi militer AS ke China. Liu sejak Maret 2009 bekerja di sebuah perusahaan di New Jersey, yang tengah mengembangkan teknologi peralatan navigasi dengan presisi tinggi.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment