ALUTSISTA ARDAVA BERITA HANKAM CAKRA 401 SUBMARINE DEFENSE STUDIES INDO-DEFENSE INDONESIA DEFENSE INDONESIA TEKNOLOGI RINDAM V BRAWIJAYA THE INDO MILITER
Formil MIK Formil Kaskus Formil Detik.COM
PT.DI LAPAN LEN NUKLIR PAL PINDAD RADAR RANPUR ROKET RUDAL SATELIT SENJATA TANK/MBT UAV
TNI AD TNI AL TNI AU
HELIKOPTER KAPAL ANGKUT KAPAL INDUK KAPAL LATIH KAPAL PATROLI KAPAL PERANG KAPAL PERUSAK KAPAL SELAM PESAWAT TEMPUR PESAWAT ANGKUT PESAWAT BOMBER PESAWAT LATIH PESAWAT PATROLI PESAWAT TANKER
KOPASSUS PASUKAN PERDAMAIAN PERBATASAN
  • PERTAHANAN
  • POLRI POLISI MILITER
  • PBB
  • NATO BIN DMC TERORIS
    AMERIKA LATIN AMERIKA UTARA BRASIL USA VENEZUELA
    AFGANISTAN ETHIOPIA IRAN ISRAEL KAZAKHTAN KYRGYZTAN LEBANON LIBYA MESIR OMAN PALESTINA TIMUR TENGAH YAMAN
    ASEAN AUSTRALIA Bangladesh BRUNAI CHINA INDIA INDONESIA JEPANG KAMBOJA KORSEL KORUT
    MALAYSIA Selandia Baru PAKISTAN PAPUA NUGINI Filipina SINGAPURA SRI LANGKA TAIWAN TIMOR LESTE
    BELANDA BULGARIA INGGRIS ITALIA JERMAN ROMANIA RUSIA UKRAINA
    MIK News empty empty R.1 empty R.2 empty R.3 empty R.4

    Wednesday, June 29, 2011 | 9:12 AM | 0 Comments

    Pengamat : Operasi Nonperang TNI Perlu Diatur

    Jakarta - Tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam melakukan operasi selain perang perlu diakomodasi dalam Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan Nasional (RUU Kamnas).

    Bila tidak diatur dalam undang- undang, operasi selain perang TNI akan berpotensi menimbulkan masalah. Pengamat militer dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, dalam UU No 34/2004 tentang TNI, salah satu tugas TNI adalah operasi selain perang.

    Tugas ini beririsan dengan tugas-tugas Polri, misalnya dalam penanggulangan dan penumpasan terorisme. “Karena tugas dan profesionalitas operasi selain perang TNI belum dirinci dalam UU lain, dalam praktiknya rentan menimbulkan konflik kewenangan antar institusi maupun pelanggaran HAM (hak asasi manusia),” kata Jaleswari di Jakarta kemarin.

    Dia mengungkapkan,RUU Kamnas sebenarnya dirancang sebagai payung hukum dari sejumlah UU lain yang berkaitan. Saat ini draf RUU tersebut sudah berada di Komisi I DPR dan akan dibahas mulai pekan ini. Di tempat terpisah,Direktur Jenderal Potensi Pertahanan, Kementerian Pertahanan Pos M Hutabarat menyatakan, RUU Kamnas tidak menambah kewenangan TNI untuk melakukan penangkapan dan penyadapan.

    RUU ini justru mengatur pengawasan terhadap instansi yang memiliki kewenangan khusus seperti penyadapan, penangkapan, pemeriksaan, dan tindakan paksa lainnya. Penggunaan kewenangan khusus harus dilakukan sesuai eskalasi ancaman keamanan seperti tertib sipil, darurat sipil, darurat militer, dan keadaan perang.

    “Jadi intinya bukan soal pemberian kewenangan,tapi semua instansi yang memiliki kewenangan khusus akan diawasi Dewan Keamanan Nasional atau DKN,” ungkapnya saat jumpa pers di Kantor Kementerian Pertahanan,Jakarta,kemarin.

    Menurut Pos, berbagai institusi yang memiliki kewenangan khusus terkait keamanan antara lain TNI,Polri,beberapa kementerian, kejaksaan,Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),dan lainnya.

    Pembentukan DKN merupakan salah satu amanat RUU Kamnas.Lembaga ini merupakan transformasi dari Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas). Anggota DKN adalah sejumlah menteri,panglima TNI, Kapolri, dan pimpinan badan/ komisi yang diketuai Presiden.

    Sejumlah pengamat dan LSM mengkritisi ada pasal tentang penangkapan, penyadapan, dan pemeriksaan yang dilakukan unsur-unsur keamanan. Pada Pasal 54 butir e RUU Kamnas terdapat kalimat: pengawasan penggunaan kuasa khusus. Pada penjelasan butir ini disebutkan bahwa “kuasa khusus yang dimiliki unsur keamanan nasional berupa hak menyadap, memeriksa, menangkap, dan melakukan tindakan paksa sah lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

    Dewan Pers menganggap cakupan RUU ini terlalu luas dan ada pasal yang berpotensi menjadi pasal karet seperti pada masa Orde Baru.Terdapat pula pasal yang dinilai dapat menghidupkan kembali haatzai artikelen (pasal penghasutan). Pasal 54 juga dianggap membahayakan kemerdekaan pers. Aparat bisa dilegalkan menyadap institusi atau individu pers yang dinilai mengancam keamanan nasional.

    Sementara itu, Sekretaris Dirjen Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan, Laksamana Pertama Leonardi,menegaskan, wewenang masing-masing lembaga tetap melekat sebagaimana diatur UU sektoralnya.

    Sumber: SINDO

    Berita Terkait:

    0 komentar:

    Post a Comment

     
    Copyright © 2010 - All right reserved | Template design by ADMIN | Published by MAJU INDONESIA KU
    Proudly powered by Blogger.com | Best view on mozilla, internet explore, google crome and opera.