Sebuah foto dokumentasi yang diambil pada 24 April 2010 menunjukkan sejumlah pesawat dan helikopter bertengger di tarmak Pangkalan Angkatan Laut AS Futenma di Ginowan, Okinawa, Jepang. PM Hatoyama gagal mewujudkan janjinya untuk memindahkan pangkalan ini ke tempat lain.
Kepulauan Okinawa yang membentang di selatan Kerajaan Jepang dan berada di utara Taiwan adalah ”anak tiri” negara Matahari Terbit. Gagalnya pemindahan pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa membuat warga kecewa dan memaksa Perdana Menteri Yukio Hatoyama mundur.
Warga Okinawa menyebut diri sebagai ”uchinanchu”, berbeda dengan warga Jepang lain yang disebut ”yamato unchu” atau ”naicha”. Warga Okinawa hingga kini seperti warga kelas dua di Jepang. Diskriminasi terjadi meski tak setajam masa lalu.
Sejarawan Matsumura Toshio yang sedang menyelesaikan program doktoral di Universitas Tokyo mengatakan, kehidupan di Okinawa keras sehingga warga harus merantau ke kota Tokyo dan Osaka untuk mencari sesuap nasi. Warga Okinawa hidup sebagai nelayan atau petani marjinal di kampung halaman.
”Sebelum Perang Dunia II terasa betul ada diskriminasi terhadap warga Okinawa oleh warga Jepang dari pulau besar seperti Honshu, Shikoku, dan Kyushu. Warga Okinawa memiliki dialek tersendiri yang berbeda dengan mayoritas warga Jepang di pulau-pulau besar,” kata Toshio.
Mereka pun tinggal berkelompok untuk dapat bertahan hidup di perantauan. Kebiasaan merantau ke luar negeri juga dilakukan orang Okinawa.
Menurut Toshio, sebagian besar warga keturunan Jepang (Nisei) di Brasilia berasal dari kepulauan Okinawa.
Perlakuan berbeda juga diterapkan kepada warga Okinawa yang diwajibkan membawa paspor saat meninggalkan wilayah mereka untuk memasuki pulau-pulau utama di Jepang. Analis politik Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, Atsushi Sano, menjelaskan, kebijakan itu berlaku hingga akhir masa pendudukan militer Amerika Serikat (AS) di Okinawa selepas Perang Dunia II.
”Kewajiban itu dihapus awal tahun 1970-an. Pendudukan Amerika berlangsung tiga dasawarsa lebih di sana,” kata Sano.
Rebutan Tiongkok-Jepang
Pada awal abad ke-19, Kepulauan Ryukyu merupakan daerah perluasan pengaruh kerajaan Tiongkok dan kerajaan Jepang. Wilayah itu sempat berdiri sendiri sebagai kerajaan Ryukyu.
Matsumura Toshio menerangkan, pada paruh kedua abad ke-19, saat restorasi Meiji, Ryukyu sepenuhnya dikuasai kekaisaran Jepang. ”Selanjutnya ekspansi berlanjut ke Taiwan setelah perang Tiongkok-Jepang tahun 1895 dan pendudukan Korea pada tahun 1910. Okinawa menjadi daerah strategis bagi kekaisaran Jepang yang memasuki era industrialisasi,” kata Toshio.
Pada kurun waktu tersebut, Kaigun (Angkatan Laut) Jepang menggoreskan sejarah sebagai bangsa Asia pertama yang mengalahkan bangsa kulit putih saat menghantam Angkatan Laut Kekaisaran Rusia dalam pertempuran Selat Tsushima (1905).
Pada masa pendudukan Jepang terhadap Semenanjung Korea, Taiwan, dan Manchuria (sekarang timur laut Tiongkok atau kawasan Dong Bei), timbul sebutan ”san goku jin” atau orang jajahan yang bermakna merendahkan.
Meski sebutan tersebut tidak digunakan untuk merujuk kepada orang Okinawa, dalam pelbagai bidang kehidupan, lanjut Toshio, seorang Okinawa dipandang rendah oleh masyarakat asli Jepang.
Perlakuan berbeda, kata Toshio, juga terjadi atas orang Tionghoa dan orang Korea yang tinggal turun-temurun di Honshu, Shikoku, dan Kyushu.
Militer Amerika Serikat
Pada babak akhir Perang Dunia II, bulan April 1945, terjadi pertempuran berdarah di Okinawa antara militer Amerika Serikat melawan tentara kekaisaran Jepang yang terdesak, tetapi melawan dengan berani.
Kemenangan AS dibayar mahal dengan korban 12.000 prajurit tewas dan 38.000 terluka. Adapun Jepang kehilangan 100.000 prajurit.
Penduduk Okinawa menjadi korban dalam pertempuran itu. Menurut Museum Prefektur Okinawa, sekitar 100.000 warga setempat tewas akibat kelaparan dan sebagian lagi dipaksa militer Jepang untuk bunuh diri.
Pendudukan AS di bawah Jenderal Douglas MacArthur mengambil alih pangkalan militer Jepang. Semasa Perang Tiongkok (1945-1949), Perang Korea (1950-1953), dan Perang Vietnam pada dekade 1960-an hingga jatuhnya Saigon, April 1975, Okinawa menjadi pangkalan strategis bagi Amerika dan sekutu.
Saat ini, dari 47.000 prajurit AS yang berada di Jepang, lebih dari separuh berada di Okinawa. Pangkalan militer AS menduduki 19 persen wilayah Okinawa.
Meski ekonomi lokal tumbuh dengan keberadaan pangkalan militer di Futenma dan Kadena, warga Okinawa resah. Mereka melihat Okinawa dibiarkan menjadi pusat militer AS karena tidak diinginkan berada di pulau-pulau utama Jepang.
Keberadaan militer AS menimbulkan efek samping, seperti kasus pemerkosaan terhadap bocah perempuan berusia 12 tahun oleh tiga prajurit AS. Okinawa masih menjadi anak tiri Jepang....
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment