BALIKPAPAN, KOMPAS - Pengelolaan perbatasan masih menggunakan paradigma lama, yakni menganggap wilayah yang berbatasan dengan negara lain itu sebagai pintu belakang. Akibatnya, masalah yang timbul di perbatasan belum dianggap sebagai sebuah ancaman serius yang memerlukan prioritas dan perhatian khusus.
Hal itu dikatakan Ketua Dewan Pendiri Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia Suripto dalam seminar ”Isu Perbatasan dalam Perspektif Hankam dan Kewaspadaan Nasional” di Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (7/8).
Pembicara lainnya adalah Rahman Ibrahim, Kepala Subbidang Batas Wilayah Indonesia Barat Kementerian Pertahanan, dan Yudha Pranoto, Staf Ahli Gubernur Kaltim Bidang Politik dan Pertahanan Keamanan, yang membacakan sambutan Gubernur Awang Farouk Ishak. ”Karena tidak menganggap sebagai pintu depan, penanganan perbatasan ini menjadi cenderung apa adanya. Semua ini perlu kita renungkan,” ujar Suripto.
Menurut dia, hingga kini Indonesia masih menghadapi sejumlah konflik perbatasan dengan negara lain yang belum beres, baik menyangkut garis perbatasan darat maupun laut. Untuk garis darat di Kalimantan saja masih ada 10 permasalahan utama yang belum terpecahkan.
Hal itu tentu menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat untuk diselesaikan. Sebab, masalah perbatasan tidak hanya menyangkut soal garis wilayah, tetapi juga kehidupan yang lain, termasuk kesejahteraan masyarakat. Selama ini kondisi masyarakat di perbatasan masih jauh dari sejahtera. Bahkan, untuk memperoleh kebutuhan pokok saja mereka kesulitan.
”Memang akan ada Badan Pengelola Perbatasan, namun apakah badan yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri itu sudah memenuhi manajemen yang efektif? Saya tidak yakin. Badan ini diperkirakan tidak mampu memikul tanggung jawabnya lantaran keterbatasan kompetensi dan dana,” katanya.
Mengenai apa yang perlu diperbuat untuk perbatasan, Rahman mengatakan, sejumlah upaya dilakukan, mulai dari pemasangan tugu batas, melakukan perundingan soal garis batas, hingga mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui pemasangan sumber energi alternatif di pulau terpencil.
”Mengenai perundingan, masih ada persoalan garis batas ZEE (zona ekonomi eksklusif) di Selat Malaka. Kita berusaha agar perundingan berhasil, namun Malaysia terus saja menghindar. Mereka menunda-nunda perundingan,” ujarnya.
Gubernur Awang Farouk mengatakan, Pemerintah Provinsi Kaltim melalui Program Kalimantan Bangkit 2013 memberikan perhatian besar terhadap percepatan pembangunan kawasan di perbatasan, antara lain melalui pembangunan jalan, jembatan, lapangan terbang, dan saluran komunikasi.
Hingga tahun 2009 telah dialokasikan dana Rp 1,12 triliun melalui APBN untuk pembangunan ruas jalan, antara lain sepanjang 513 km mulai dari Sekatak hingga Mentalong.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment