JAKARTA (Suara Karya): Penataan kekuatan alat utama sistem senjata (alutsista) dan profesional TNI sebagai alat pertahanan negara perlu dipercepat dan terkonstruksi dalam program pembangunan pertahanan jangka panjang. Kekuatan militer Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetanggai di kawasan Asia Tenggara.
Hal itu dikatakan pengamat militer Universitas Indonesia (UI) Connie Rahakundini Bakrie, dan pengamat hubungan internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Dafri Agussalim di Jakarta, Jumat (6/8).
Pada umumnya, teknologi alutsista yang dimiliki TNI Angkatan Darat (AD), AU dan AL sudah masuk ketegori sangat tua. Khsusus TNI AL, KRI dan kapal angkut yang dimiliki sebagiannya berusia di atas 50 tahun. Kondisi yang sama juga dialami TNI AU memiliki pesawat tua yang masih dipaksakan untuk terbang.
Sedangkan, industri pertahanan yang belum setahun dibangun pemerintah Indonesia belum menunjukan perkembangan karena ketidakseriusan intansi-instansi yang terlibat di dalamnya, seperti Kemenhan, Kemen BUMN dan Kemenkeu. Gema kemandirian alutsista hanya terdengar pada awal pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga Singapura yang hanya mempunyai luas wilayah sebesar 648 km2 atau sama dengan luas DKI Jakarta, Connie menilai, kekuatan TNI pun relatif jauh tertinggal.
"Memang, kekuatan pertahanan kita tidak usah dibandingkan negara-negara adi daya, seperti AS maupun Rusia. Tapi, bila dibandingkan dengan Singapura kita masih tertinggal," ujarnya.
Ia menambahkan, alokasi anggaran TNI di dalam anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dibanding anggaran pos lainnya, termasuk rendah untuk memenuhi belanja kebutuhan pertahanan. Idealnya, belanja pertahanan mendapat alokasi anggaran 5,7 persen dari produk domestik bruto (PDB) agar terhindar dari berbagai ancaman seperti kehilangan wilayah hingga separatisme.
"Anggaran TNI tidak pernah lebih dari satu persen atau rata-rata hanya 0,98 persen dari PDB, bahkan tahun ini malah turun jadi 0,6 persen karena ada Pemilu," kata Connie.
Minimnya anggaran itu mempersulit TNI untuk menata kekuatan dalam konteks ideal sebagai alat pertahanan negara. "Sebagai benteng pertahanan negara, pemerintah sebaiknya melakukan percepatan pembangunan pertahanan baik terhadap sumber daya manusia maupun terhadap faktor pendukung, seperti alutsista," ujarnya.
Macan Asia
Sementara itu, Dafri Agussalim cukup prihatin atas kekuatan pertahanan RI yang belum mengalami kemajuan siginifikan apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Padahal, Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara dan sempat dijuluki "macan Asia".
Saat ini, menurut dia, negara-negara di kawasan Asia Tenggara saling berlomba dalam satu persaingan terselubung untuk memperkuat pertahanan negaranya. Adanya persaingan ini dinilai wajar karena sesama anggota Asean masih sering terjadi konflik. Mereka saling mengintai persenjataan masing-masing negara.
"Persaingan senjata di kawasan Asia Tenggara memiliki efek spiral. Jika ada salah satu negara memperkuat militernya, maka negara lain pun tidak akan mau kalah, maka terjadilah perlombaan pengadaan persenjataan untuk memperkuat pertahanan negara mereka," katanya.
Sumber: SUARA KARYA
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment