Selama dua kali menjadi Menteri Pertahanan, semasa Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Juwono Sudarsono harus berkutat dengan masalah klasik, yaitu minimnya anggaran pertahanan di tengah kemajuan pertahanan negara-negara tetangga.
Ia pun maklum terhadap prioritas anggaran negara yang mesti berfokus pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan ekonomi. ”Pertahanan terbaik adalah keadilan sosial,” ujar Juwono, putra Sudarsono, mantan Menteri Sosial (1945-1946) dan Menteri Dalam Negeri (1946) itu.
Hampir 10 bulan selepas menjadi Menteri Pertahanan, kegiatan Juwono Sudarsono tak berkurang. Ia cukup sibuk menyumbangkan pemikirannya di bidang pertahanan, baik di lingkungan Kementerian Pertahanan maupun lingkungan lainnya.
Sebelum menerima Kompas untuk wawancara di lobi sebuah hotel berbintang lima, di Jakarta, Rabu (28/7), ia baru saja bertemu dengan alumni SMA Taruna Nusantara Magelang. Berikut petikan wawancaranya:
Apakah postur pertahanan kita melemah jika dibandingkan dengan era Orde Baru?
Kalau kita lihat lima tataran pertahanan dalam arti luas, pada tingkat pertahanan satelit (cyber), kita bukan pelaku. Pada tingkat strategis nuklir, kita bukan pelaku. Pada tingkat mandala nuklir, kita bukan pelaku. Pada tingkat konvensional, kita pemain pelaku, tetapi bukan dominan. Hal itu karena anggaran pertahanan kita cuma Rp 42 triliun, kurang lebih 4,5 miliar dollar AS. Jumlah itu hanya 0,68 persen dari PDB dan 4,5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sekarang Rp 1.000 triliun. Jadi, bayangkan, untuk negara seluas ini, rentang efektif kemampuan untuk menangkal, mencegah, menindak sangat rendah.
Kita setiap tahun kecolongan 20 miliar dollar AS dari berbagai kegiatan ilegal, seperti pencurian ikan, pembalakan liar, perompakan, dan penyelundupan. TNI dan Polri tidak sanggup mencegah semua ini karena aparat negara yang namanya polisi dan tentara tidak punya kemampuan efektif untuk mencegah penyusupan, penerobosan kapal ikan, nelayan asing, apalagi kapal canggih dari Amerika, China, Australia, dan Jepang.
Jadi, pada tingkat konvensional, kita pelaku, tetapi kita masih mengusahakan—yang kita sebut strategic space (ruang strategis)—di mana kita sebagai negara terbesar di Asia Tenggara mengajukan kemampuan yang disebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kekuatan esensial minimum atau minimum essential force (MEF). MEF itu seharusnya minimum Rp 125 triliun.
Dengan postur seperti itu kira-kira posisi kita di wilayah Asia Tenggara ini seperti apa?
Kalau dari segi perimbangan kekuatan konvensional, sebenarnya kita memang sangat kurang. Dilihat dari jumlah pesawat tempur, jumlah kapal selam, kita kurang dibandingkan dengan Singapura. Singapura sudah punya enam kapal siluman berjenis fregat. Kapal selamnya juga banyak. Malaysia juga. Kita cuma punya dua (kapal selam) untuk delapan kawasan.
Namun, pertahanan kita tidak bisa lepas dari pertahanan negara tetangga. Singapura berkepentingan dengan kita melalui suatu konsep sovereign space. Jadi, seluruh wilayah Indonesia bagian barat yang berdekatan dengan Singapura wajib patroli bersama karena kepentingan kita sebagai negara nasional tidak bisa lepas dari kepentingan Singapura. Hal itu karena Selat Malaka adalah kepentingan bersama. Jadi, yang mereka miliki, kita manfaatkan juga. Radar mereka kita manfaatkan secara bersama. Begitu juga untuk Indonesia bagian timur dan tenggara, dengan Australia.
Bagaimana dengan konsep ”pertahanan udang berbisa” (poison shrimp defense)-nya Singapura?
Singapura hidup dari ekonomi kita, 40 persen ekonomi Singapura bergantung pada pasar Indonesia. Jadi, Singapura berkepentingan mempertahankan kesatuan Indonesia agar kemampuan TNI cukup untuk melakukan pelaksanaan keamanan, tetapi tidak terlalu besar sehingga mengancam Singapura.
Singapura itu negara kota yang sangat rentan terhadap kemampuan fisik. Karena dia kecil, dia harus lakukan pertahanan semesta (total defense) yang betul-betul solid. Selama 24 jam tujuh hari seminggu, bandara dan pelabuhannya harus betul-betul pertahanan mutlak. No room for compromise.
Kenapa? Kalau secara fisik Indonesia dan Malaysia terlalu kuat, penghancuran Singapura bisa dilakukan hanya dengan satu bom di Orchard Road. Seluruh Singapura akan runtuh. Seluruh perangkat kelas dunia Singapura, bandara, pelabuhan, infrastruktur keuangan, jasa, kesehatan, dan hiburan akan mati.
Untuk mencegah itu, dia (Singapura) membuat strategi udang berbisa. Kalau Indonesia atau Malaysia mencaplok Singapura, ketergantungan Indonesia dan Malaysia terhadap infrastruktur Singapura, termasuk keuangannya, akan membuat ekonomi Indonesia dan Malaysia hancur. Hal itu membuat mutual dependence (saling ketergantungan), membuat Indonesia dan Malaysia jadi bagian kelangsungan hidup Singapura.
Seberapa efektif itu?
Efektif. Kalau Belawan dihancurkan, Tanjung Priok hancur, nanti keseluruhan supply line (lini suplai) Indonesia habis. Semua tentara dan pejabat Indonesia tahu itu. Bukan hanya soal Telkom, yang sedikit saja dipindah satelitnya nanti komunikasi kita akan hilang. Jadi, mereka sudah pikirkan ketergantungan simbiotis antara Indonesia bagian barat dan Singapura karena itu merupakan titik temu dari 38 persen dari 90 persen perdagangan laut di dunia lewat Selat Singapura.
Dengan kondisi kawasan yang seperti ini, apa sebetulnya ancaman untuk Indonesia?
Sebetulnya ancaman yang paling besar adalah kemiskinan Indonesia karena ketimpangan pembangunan yang telah berjalan selama 40 tahun.
Berarti prioritas pemerintah sudah benar, ya, soal mengatasi kemiskinan….
Sudah berkali-kali dalam pertemuan di kabinet dan juga pertemuan dengan rapat terbatas saya jelaskan bahwa ancaman kita adalah kemiskinan dan perang nontradisional, termasuk terorisme. Hal itu bisa diatasi kalau kita membangun keadilan sosial.
Saya katakan the best defense adalah social justice (pertahanan terbaik adalah keadilan sosial). Makin banyak orang terangkat dari kemiskinan, makin banyak orang tidak tertarik pada radikalisme, apakah sekuler apakah agama.
Bagaimana cara mengatasi sulitnya mencari anggaran?
Strategi kita sejak tahun 2004 adalah mendahulukan kesejahteraan dan infrastruktur ekonomi, seperti listrik yang sudah 12 tahun tidak membangun lagi. Tidak ada nilai tambah. Padahal, makin banyak orang menggunakan jasa jalan raya, pelabuhan. Infrastruktur kita sudah rusak. Hampir sama dengan Jakarta. Perlu pembaruan dan cukup modal.
Strategi pertahanan kita dalam situasi terbatas itu, kita mementingkan dua hal, yaitu menjaga kedaulatan relatif—tidak mutlak, tidak perlu hadir di setiap pulau, tidak semua kapal harus ada—tetapi kita melakukan peningkatan kesetaraan (paritas) teknologi. Kalau Singapura beli F-16, kita harus ada perbaikan.
Jadi ada kesetaraan dalam tingkat teknologi meskipun jumlah kita kalah, apalagi dibandingkan dengan kebutuhan fisik kita.
Apakah ada kemungkinan Indonesia diserang secara militer?
Sekarang perkiraan itu sedikit sekali kemungkinannya, tetapi yang bahaya kalau tidak menjaga paritas teknologi. Kita sekarang punya enam Sukhoi, empat yang terbang. Ada delapan F-16, tetapi enam yang operasi. It’s okay. Yang penting jangan terlalu lemah sehingga daya tangkal kita secara relatif dilecehkan oleh negara tetangga.
Saya ambil contoh Ambalat. Mengapa Malaysia berbuat seperti itu? Karena dia tahu tingkat kemampuan patroli kita di Indonesia bagian timur itu. Malaysia mengklaim sesuatu yang tidak sah menurut hukum internasional. Dia lecehkan kita karena dia tahu kemampuan TNI AL kita lemah di situ dan sebagian besar (kekuatan) kita di darat, dia membuat—apa yang disebut military skirmishes (perang kecil-kecilan)—untuk mengetes kemampuan kita.
Saya katakan kepada Menhan Najib (Najib Abdul Razak, menhan waktu itu), Anda bahaya membiarkan pelecehan itu karena orang Indonesia kalau diprovokasi bisa bondo nekat (modal nekat). He-he-he....
Hal ini ada kaitannya dengan investasi Malaysia. Kalau Anda memprovokasi, kita bisa memboikot atau membatasi investor Malaysia untuk mencari pasar di Indonesia, apakah itu perbankan, apakah itu industri, apakah itu kelapa sawit.
Bagaimana dengan ancaman disintegrasi?
Saya percaya kita tidak akan menghadapi (ancaman disintegrasi) itu karena dari segi logistik, organisasi, dan keuangan, tidak ada bahaya separatisme mewujud dalam bentuk peperangan berkelanjutan.
Namun, yang harus kita toleransi adalah perhatian internasional sebagai isu abadi. Hal itu tidak ada habis-habisnya karena dari segi itu lembaga swadaya masyarakat di Australia dan Eropa selalu akan membuat Papua sebagai masalah internasional, bagian dari industri hati nurani, yang namanya HAM (hak asasi manusia).
Di situ saya katakan, tolong polisi dan siapa pun yang bertugas di lapangan jangan sampai terpancing untuk melakukan tindakan yang oleh sorotan media internasional dipancarkan langsung.
Seandainya diberi kewenangan mengatur anggaran, mana yang mau diprioritaskan?
Yang penting adalah pengembangan pesawat transpor, kapal transpor, dan kendaraan tempur transpor. Itu paling penting karena 70 persen dari persoalan kita adalah delivery , kemampuan pemerintah untuk menghadirkan basic services. Jadi, tentara itu membantu pemda, membantu kabupaten, untuk menghadirkan makin banyaknya delivery services.
Transpor yang tempur 30 persen, jumlah itu harus kita pelihara untuk menjaga paritas teknologi agar kita tidak dilecehkan. Jadi, kalau Singapura punya 20 buah F-15, kita harus punya enam lagi dalam kurun 10-15 tahun.
Pilot-pilot kita lebih andal dari pilot negara-negara tetangga. Kita memiliki qualitative difference. Aspek kejuangan. Ada sesuatu dalam doktrin kita: tentara rakyat, tentara kejuangan, tentara nasional, baru profesional. Itu saya kira mengilhami prajurit kita. Tongkrongannya lain sama tentara tetangga. Justru karena kekurangan dana, maka kejuangannya tinggi.
Terkait aspek kejuangan, ada juga yang mengatakan TNI mulai mengalami demoralisasi?
Tidak. Saya melihat bahwa waktu Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) mendahulukan aparat sipil, polisi, jaksa, dan pengadilan, ada sebagian tentara yang merasa bahwa peran mereka agak dikesampingkan. Namun, itu sudah komitmen kita untuk demokrasi, bukan tekanan dari luar. Pak SBY sendiri justru yang memprakarsai bahwa aparat sipil harus ke depan, tetapi tentara tidak hilang sama sekali karena doktrin teritorial kita tidak pernah dihapus.
Soal hak pilih tentara? Apakah sudah waktunya boleh memilih?
Soal hak pilih TNI, kalau saya pribadi beranggapan tidak usah tiru-tiru negara lain. Yang penting dengan profesi mereka yang pada dasarnya sudah kehilangan haknya, karena mereka masuk dalam disiplin ketentaraan, lebih baik mereka tidak memilih. Lebih baik mereka ikut politik negara, setia kepada pemerintah yang dipilih rakyat. Sebab, saya khawatir di lapangan. Ini bukan soal debat akademik soal hak pilih. Di lapangan masing-masing mudah untuk terombang-ambing oleh pimpinan komandan tertentu dan rawan oleh tarik-menarik oleh parpol.
Tetap sibuk
Setelah tidak lagi terlibat di pemerintahan, Juwono kini memiliki waktu pribadi untuk membaca deretan buku yang belum sempat ia buka, khususnya membaca koran. ”Saya tak bisa membayangkan dunia tanpa koran,” kata Juwono yang pertama kali artikelnya dimuat di Kompas tahun 1970. Untuk menjaga kebugarannya, ia masih rajin treadmill dan berlatih tenis. ”Tapi tenis pejabat. Tenis sama ball boy yang bolanya datang ke kita ha-ha-ha,” katanya.
Sepertinya tetap sibuk?
Saya banyak melakukan pertemuan dengan teman-teman dari kampus, polisi, tentara, dan pegawai negeri. Kita bicara tentang perang keunggulan, brain warfare, karena negara ini makin terlibat dalam persaingan dengan Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Jadi, kita bicara perlunya persamaan perpaduan antara the war room, board room, dan classroom.
Ini tentang total defence dalam arti perpaduan sinergis antara konsep pertahanan militer, fisik teritorial, dan perang fungsi keunggulan, yaitu perang inovasi, perang manajerial. Karena puluhan orang setiap tahun diambil oleh negara tetangga dari sekolah-sekolah bagus untuk memperkuat pengetahuan ekonomi negara mereka. Perang otak ini harus jadi perhatian kita, termasuk di bidang finance karena tidak bisa lagi kita mendidik perwira menengah tanpa pengetahuan investasi dan finance.
Kita, kan, punya banyak bibit unggul. Malah banyak juga yang bisa juara fisika di tingkat internasional?
Namun, olimpiade seperti itu bukan melembaga, itu fenomena satu dua pribadi yang bisa dilatih. Yang kita perlukan orang-orang biasa yang pintar sehingga terjadi kelembagaan yang berlanjut, yang cinta negara dan tidak tergantung kepada tokoh.
JUWONO SUDARSONO
• Tempat/Tanggal Lahir: Ciamis, Jawa Barat, 5 Maret 1942
• Pendidikan:
- SMA, Bedales Hampshire, Inggris (1960)
- Jurusan Publisistik, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Indonesia (UI), Jakarta (1966)
- Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda (1969)
- Program Master, Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat (1970) - Program Doktor (PhD), London School of Economics, University of London, Inggris (1979)
• Disertasi: Indonesian-American Relations, 1965-1975: A Case Study in Economic and Military Assistance. Promotor: Prof Michael Leifer dan Prof Peter Lyon
• Perjalanan Karier:
- Staf Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional, Departemen Pertahanan (1972-1975)
- Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) (1988-1994)
- Guru Besar FISIP UI (1989)
- Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) (1995)
- Menteri Negara Lingkungan Hidup Kabinet Pembangunan VII (1998-1998)
- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Reformasi (1998-1999)
- Menteri Pertahanan Kabinet Abdurrahman Wahid (1999-2000)
- Menteri Pertahanan Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009)
• Keluarga:
- Priharumastinah (istri)
- Vishnu Juwono (anak)
- Yudhistira Juwono (anak)
- Satu cucu
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment