Jakarta - Keberadaan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) di Indonesia, dinilai menjadi alasan kenapa sampai terjadi pelanggaran batas wilayah, hingga pencurian hasil bumi di daerah perbatasan. Oleh karena itu, ada permintaan agar Tentara Nasional Indonesia (TNI) dikembalikan di bawah Presiden RI, bukan lagi di bawah Kemenhan.
Permintaan datang dari seorang pedagang barang dan jasa Mohammad Riyadi Setyarto dan Rasma yang dulunya bekerja sebagai nelayan. Lewat Mahkamah Kosntitusi (MK) mereka mengajukan uji materi UU 34/2004 tentang TNI yaitu Pasal 3 ayat 2, Pasal 15 ayat 7, 8, 9, Pasal 66 ayat (2), Pasal 67, dan Pasal 68 ayat (2) yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Keduanya meminta agar TNI dikembalikan sepenuhnya ke presiden. Sebab mereka menilai pada prakteknya, banyak masalah yang terjadi saat TNI berada di bawah koordinasi Kementrian Pertahanan.
"Memberi peluang dan kesempatan asing untuk melanggar wilayah Indonesia, untuk mencuri hasil bumi," ujar M Riyadi di sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin, (24/1/2011).
Menurut Riyadi, berlakunya pasal-pasal yang diajukan untuk diujimaterikan itu meningkatkan ancaman keamanan di wilayah perbatasan.
"Berlakuya pasal-pasal tersebut, meningkatkan ancaman keamanan meningkat di perbatasan. Pelanggaran wilayah tersebut. Ini melanggar hak warga negara kita. Dan sampai saat ini, pelanggaran wilayah tersebut masih berlangsung dan terus berlangsung sampai saat ini," tandasnya.
Riyadi mencontohkan penggunaan kapal perang asing di Ambalat pada 2005 silam, dan kasus penangkapan petugas Dinas Kelautan dan Perikanan di Perairan Tanjung Berakit, Bintan pada pertengahan tahun silam.
"TNI di bawah Kemenhan, peralatan sistem pertahanan negara, performancenya menjadi kurang. Seharusnya TNI seperti semula, seperti di Pasal 10 UUD 45, maka penampilan performancenya akan membuat negara lain enggan melanggarnya. Karena TNI itu di bawah Kemenhan, menyebabkan keamanan dan perlindungan negara, menjadi berkurang, sehingga pelanggaran-pelanggaran itu terjadi," argumen Riyadi.
Menanggapi permohonan ini, hakim konstitusi Hamdan Zoelva meminta agar pemohon merombak permohonan. Sebab, permintaan pemohon tak bisa dipahami.
"Coba saudara melihat baik-baik contoh-contoh yang ada di MK ini, atau menunjuk kuasa hukum. Secara format saja tidak jelas. Apa yang saudara mohonkan, bagaimana kerugian kostitusional saudara, saya melihat ini belum jelas," ujar Hamdan.
Hamdan pun mempertanyakn permintaan yang diajukan pemohon perihal TNI yang dikembalikan di bawah presiden, dan tidak di bawah Menhan. Menurut Hamdan, Kementrian Pertahanan hanya sebagai koordinator dari kebijakan saja, termasuk sebagai pengatur anggaran.
"Itu tidak berubah itu. Menhan hanya mengenai penentuan kebijakan-kebijakan strategis, berkoordinasi dengan Kemenhan. Kemenhan bukan seperti Panglima TNI. Coba baca baik-baik. Kalau Pasal 3 ini, kan sama bunyinya dengan Pasal 10. Itu tidak ada kaitan dengan operasi atau keputusan perang," nasihat Hamdan.
Hal senada disampaikan Ketua Panel Ahmad Fadlil Sumadi. Ahmad Fadlil menilai permohonan yang disampaikan pemohon tak jelas."Tidak jelas soal kerugian saudara. Kerugian bukan karena UU, tapi lebih karena merupakan pencaharian yang saudara tekuni, bukan bersebab dari adanya norma. MK tidak mengadili fakta, kita tidak mengadili kasus. Tapi mengadili norma atau kaidah dalam UU," tutupnya.
MK pun memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya tersebut.
Sumber: DETIK
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment