Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut meledakkan ranjau sisa Perang Dunia II di kawasan pantai proyek pembangunan Pelabuhan Umum Nasional, Desa Sendangmulyo, Kecamatan Sluke, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Rabu
Dalam operasi Saber Ranjau, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut menemukan ranjau antikapal pendarat sisa Perang Dunia II, di kawasan proyek pembangunan Pelabuhan Umum Nasional, Desa Sendangmulyo, Kecamatan Sluke, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ranjau sepanjang 1,5 meter dan berbobot 400-500 kilogram itu berkekuatan ledak dalam radius 300 meter.
Ranjau-ranjau yang ditemukan berada di kedalaman 5,6 meter hingga 27,3 meter, dengan jarak terdekat 400 meter dan terjauh 4,3 mil. Kalau tidak disapu bersih, ranjau akan membahayakan pembangunan pelabuhan dan kapal-kapal yang akan berlabuh.
”Ranjau tersebut masih aktif. Jika terpicu, baik karena sentuhan maupun getaran, ranjau itu akan menghancurkan benda di radius terdekat,” kata Komandan Satuan Tugas Latihan Penyapu Ranjau TNI AL Kolonel Laut (P) Benny Sukandari di Rembang, Jumat (7/5).
Menurut Benny, ranjau-ranjau tersebut dipasang Jepang sekitar tahun 1942. Di Jawa Tengah, kawasan pemasangan ranjau berada di pantai utara Rembang bagian timur hingga pantai utara Jawa Timur, terutama Tuban dan Lamongan.
Ketika pembangunan waterboom Lamongan, TNI AL pun menemukan delapan ranjau antikapal pendarat. Karena tidak dapat diangkat ke permukaan, ranjau-ranjau tersebut diledakkan di dalam laut.
Selain kaya dengan sumber daya alam, seperti kayu jati, kawasan pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan pintu masuk dan keluar ”negeri migas” (minyak dan gas bumi)”, baik Cepu di Jawa Tengah maupun Bojonegoro di Jawa Timur. Tidak mengherankan jika Jepang berupaya mengamankan negeri migas dengan berbagai cara, termasuk menanam ranjau di daerah-daerah yang memungkinkan kapal pendarat Sekutu merapat.
Sumber minyak Jepang
Dalam buku 100 Tahun Perminyakan di Cepu (PPT Migas, 1993) disebutkan, produksi minyak mentah saat Perang Eropa (1939-1940) rata-rata 49,3 juta barrel per tahun. Pada tahun-tahun berikutnya, sumber minyak sangat penting dalam peperangan Asia Timur (1942-1945), yang waktu itu dijagoi Jepang.
Jepang menyadari minyak adalah sumber vital untuk pergerakan angkatan perang. Untuk keperluan itu, Jepang menyerang sumber minyak di Tarakan (Kalimantan Timur), Surabaya (Jawa Timur), dan Cepu (Jawa Tengah), yang waktu itu dikuasai Belanda. Untuk mencapai Cepu dan Surabaya, pada 1 Maret 1942 Jepang mendaratkan 120.000 tentara di pesisir timur Rembang, Pantai Kragan, dan Sluke. Pasukan dipimpin Letnan Hitoshi Mikmaru.
Sejarawan Rembang, Slamet Widjaya, mengemukakan, saat pertama kali tentara Jepang mendarat di Rembang, yang menjadi sasaran adalah galangan-galangan kapal Belanda di Sungai Lasem, Kecamatan Lasem. Waktu itu, Sungai Lasem adalah pelabuhan dagang besar dengan komoditas kayu, beras, batik, dan candu. ”Kemungkinan, Jepang ingin membawa minyak dari Cepu ke Jepang dengan kapal-kapal tanker melalui Pelabuhan Lasem,” katanya.
Tidak mengherankan jika dengan bantuan romusha, Jepang membangun kowen (tempat penimbunan minyak dalam tanah) di Desa Ngelo, Cepu. Kowen berfungsi untuk menyimpan residu kilang yang dicampur minyak mentah yang diisikan dalam kaleng 20 liter.
”Kaleng-kaleng itu kemudian diangkut dengan kereta api menuju Pelabuhan Lasem. Jepang mengolah minyak itu menjadi bahan bakar pesawat dan kendaraan bermotor,” kata Slamet.
Untuk mempertahankan kawasan vital tersebut dari Sekutu, Slamet menambahkan, Jepang melatih para buruh perminyakan berperang. Mereka tergabung dalam Seinenta I. Sementara di Rembang, Jepang memasang ranjau-ranjau antikapal pendarat di pantai dan memperkuat armada perangnya di Pelabuhan Lasem.
Pembersihan ranjau
Ketika Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rembang membangun Pelabuhan Umum Nasional pada 2009, TNI AL mengingatkan keberadaan ranjau-ranjau yang dapat membahayakan proyek pembangunan sekaligus kapal-kapal yang nantinya masuk dan keluar pelabuhan. Peringatan itu membuat Pemkab Rembang menghentikan pembangunan pelabuhan senilai Rp 386 miliar itu sementara waktu.
Pemkab Rembang juga mengalokasikan dana Rp 3,7 miliar dari APBD 2010 guna pembersihan ranjau. TNI AL mengagendakan penyapuan ranjau tersebut 18 April-17 Mei 2010. Penyapuan itu didahului dengan perburuan atau pendeteksian ranjau. TNI AL melakukannya dengan menggunakan KRI Pulau Rupat 712 yang dikomandani Letnan Kolonel Laut (P) Aries Sucahyo.
Di dalam kapal itu ada pula Tim Dinas Hidrooceanografi TNI AL Jakarta. Mereka mendeteksi dan menentukan lokasi ranjau dengan magnetomer, side scan sonar, dan sub bottom profile untuk mendapatkan pencitraan dasar laut, serta Differential Global Position System (D-GPS) untuk menentukan lokasi ranjau.
Menurut Benny, berdasarkan peta hidrooceanografi TNI AL, ranjau diperkirakan berjumlah 54 buah dan berada di area seluas 2.197.500 meter persegi. Sebagian besar ranjau ada di bawah sedimentasi pantai. Pada tahap pertama pendeteksian, TNI AL menemukan ranjau dan mine like (benda yang mirip ranjau) sebanyak 31 buah.
TNI meledakkan ranjau-ranjau itu dengan KRI Pulau Rupat dan tiga tim perahu karet yang bertugas untuk menyesuaikan letak koordinat ranjau dan memasang bom pemicu. Peledakan ranjau dilakukan dengan cara memicu ranjau dengan bom laut yang dipasang dan diledakkan dekat ranjau.
”Setelah 31 ranjau tersapu bersih, kami akan mengecek kembali perairan itu. Jika masih ada ranjau atau benda mirip ranjau, akan kami ledakkan. Jika tidak ada, area itu berarti sudah aman dan pembangunan pelabuhan dapat dilanjutkan,” kata Benny.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment