Perbatasan Indonesia-Malaysia(Foto: MATANEWS)
TEMPO Interaktif, Jakarta - Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Mahfudz Siddiq, mengungkapkan kerugian negara akibat minimnya pengamanan perbatasan di sektor maritim diperkirakan Rp 192 triliun per tahun. "Itu hampir seperempat anggaran pendapatan dan belanja negara," katanya dalam sebuah diskusi di Warung Daun Cikini kemarin.
Total angka tiap tahun tersebut meliputi kerugian dari penyelundupan pasir laut (Rp 72 triliun), bahan bakar minyak (Rp 50 triliun), pembalakan liar (Rp 30 triliun), dan pencurian ikan (Rp 40 triliun). Besarnya kerugian itu menjadikan masalah ini mendesak untuk dibenahi. "Agar kejadian ditangkapnya tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 16 Agustus lalu tidak terulang," ujar Mahfudz.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengakui adanya kesalahan orientasi yang menyebabkan terabaikannya sektor laut. "Masak sekarang garam pun impor. Ini kan tidak masuk akal," katanya.
Fadel juga tak menolak penilaian soal kurangnya koordinasi dan lemahnya pertahanan maritim. "Dilihat dari yang ikut berperan, harusnya lebih dari cukup. Tapi tidak pernah kerja sama-sama," ujarnya.
Tugas pengamanan wilayah laut selama ini ditangani secara gabungan. Selain dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, ada Badan Koordinasi Keamanan Laut, Kepolisian RI, TNI Angkatan Laut, dan petugas dari Bea-Cukai. "Saya sudah lapor Presiden agar kejadian dengan Malaysia kemarin tidak terjadi lagi dan tidak saling menyalahkan," kata Fadel.
Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan I Wayan Midhio mengatakan diperlukan adanya kesepakatan dalam mengatur keamanan laut. "Undang-undangnya belum ada. Perlu dirancang untuk kepastian pembagian penjagaan," kata dia.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, menjelaskan, saat ini Indonesia masih harus menyelesaikan masalah batas wilayah laut dengan 10 negara tetangga. Kesepuluh negara itu ialah Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, India, Vietnam, Australia, Timor Leste, Palau, dan Papua Nugini. "Perjanjian batas wilayah itu prioritas Kabinet Indonesia Bersatu," katanya.
Ia mengakui adanya kendala kesiapan antarnegara untuk menyelesaikan perundingan dengan segera. Faizasyah mencontohkan, perundingan dengan Filipina yang tadinya sudah siap ternyata terhambat akibat terjadinya pergantian pemerintahan di negeri itu. "Jika satunya tidak siap, ya, kami tidak bisa apa-apa."
Untuk tahun ini, negara tetangga yang menyatakan siap berunding adalah Vietnam dan Thailand. "Ada yang tentang batas landas kontinen, ada pula yang Zona Ekonomi Eksklusif," kata Faizasyah. Dengan Vietnam, perundingan perbatasan sudah berlangsung selama 30 tahun terakhir.
Sumber: TEMPO
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment