Langit biru yang menaungi Kota Amsterdam, Belanda, menjadi saksi kemeriahan puluhan ribu warga dari berbagai penjuru dunia yang memadati tepian Kanal Het Ij di kota itu. Mereka larut dalam gempita penyambutan konvoi 39 kapal peserta Sail Amsterdam 2010.
Sorak-sorai dan decak kagum melengkapi lambaian tangan warga kala Kapal Republik Indonesia (KRI) Dewaruci melintas dalam formasi parade roll. Dalam formasi kebanggaan KRI Dewaruci itu, puluhan kadet Akademi Angkatan Laut berdiri dan menari di atas tiang layar di ketinggian hingga 35 meter.
Sambutan meriah itu cukup beralasan. Hanya KRI Dewaruci yang bernyali melakukan tradisi parade roll di ajang ini. Mungkin hanya Indonesia dan Meksiko yang masih memiliki tradisi itu.
Meski bukan menjadi kapal terbesar yang ikut dalam ajang ini, penampilan KRI Dewaruci sangat mencolok dengan berkibarnya bendera Merah Putih berukuran 9 meter x 12 meter di buritan kapal. Biasanya KRI Dewaruci mengibarkan bendera Merah Putih ukuran 6 meter x 9 meter.
Atase Pertahanan Kedutaan Besar RI di Den Haag Kolonel Laut (Pelaut) Wisnu Sumarto, sejumlah anggota staf Kedubes RI di Den Haag dan Paris, serta masyarakat Indonesia di Belanda turut menyambut KRI Dewaruci yang dikomandani Letnan Kolonel Laut (P) Suharto.
KRI Dewaruci yang memiliki panjang 58,3 meter dan lebar 9,5 meter itu tidak asing bagi masyarakat Eropa, khususnya di Belanda. Hampir setiap ajang lomba kapal layar internasional yang digelar di sana, KRI Dewaruci dinanti dengan antusias.
Buktinya, saat membuka diri untuk kunjungan ke dalam kapal, hampir seribuan warga silih berganti datang untuk melihat KRI Dewaruci dari dekat. Bahkan, mereka rela mengantre untuk naik ke geladak kapal. Di dalam kapal, pengunjung disambut keramahtamahan para awak kapal.
Hampir semua pengunjung mengabadikan bagian kapal yang unik-unik. Mulai dari bagian dasar tiga tiang layar utama yang berbentuk ukiran Dayak, Jawa, serta Papua; patung Dewaruci di bagian ujung depan kapal; hingga ukiran di anjungan kapal tidak luput dari bidikan.
Di geladak kapal, pengunjung juga diajak bernyanyi dan berjoget ”poco-poco”. Informasi budaya dan wisata di Indonesia tersedia dalam brosur, bisa mereka dapatkan secara cuma-cuma. Pengunjung juga bisa membeli cendera mata dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari wayang kulit, mainan tradisional, batik, kain tenun, patung, hingga replika kapal pinisi.
Fotografer Belanda, Mae Olan, tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengambil gambar KRI Dewaruci dari berbagai penjuru. Bagi dia, kapal ini unik dan eksotis dibandingkan kapal yang lain.
Masyarakat Indonesia di Belanda juga antusias melihat KRI Dewaruci. Selain sebagai pengobat rasa rindu terhadap Tanah Air, mereka juga bangga dengan KRI Dewaruci.
”Saya bangga Indonesia punya KRI Dewaruci. Lihat saja, orang berdecak kagum melihat keberanian awak kapal berdiri dan menari di atas tiang,” kata Nani Saragih, warga Medan yang bersuamikan warga Belanda.
Lomba ketiga
Sail Amsterdam kali ini merupakan lomba kapal layar internasional ke-3 yang diikuti KRI Dewaruci sepanjang 2010. Negara lain yang ikut dalam ajang ini, antara lain, Rusia, Inggris, Finlandia, Jerman, dan tentu saja tuan rumah Belanda.
Untuk urusan penyelenggaraan ajang lomba kapal layar internasional, Belanda bisa dibilang jagonya. Mereka bisa menyedot perhatian ribuan penonton dari sejumlah negara untuk memadati tepian kanal di sepanjang lebih kurang 10 mil.
Kemeriahan makin terasa kala hari mulai gelap. Lampu-lampu kapal membentuk siluet badan dan tiang kapal terlihat artistik. Pesta kembang api yang ditingkahi lengkingan peluit kapal dan dentuman meriam membuat suasana kian semarak.
Warga tidak hanya menikmati kemeriahan dari tepi kanal, tetapi juga dari atas kapal besar dan kecil yang hilir mudik. Gadis-gadis cantik berjoget, menyanyi, dan minum-minum, diiringi alunan keras suara musik.
Usahawan Belanda, Bert Kos, di atas kapalnya yang saya tumpangi untuk berkeliling mengabadikan KRI Dewaruci, dengan bangga menyatakan, ”Malam ini lebih dari 2.000 kapal besar kecil turut dalam pawai di kanal. Orang-orang dari banyak negara ada di sini. Hebatnya lagi, tidak ada satu kecelakaan pun.”
Suasana ingar-bingar itu baru berakhir dini hari, sekitar pukul 02.00. Benar-benar penyambutan luar biasa khas Belanda yang yang memang sebagian besar penduduknya menghidupi budaya maritim. Tidak salah jika pendatang yang hadir benar-benar merasakan apa yang mereka sebut welkom in Amsterdam, selamat datang di Amsterdam.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment