Ketika insiden, gejolak, dan konflik perbatasan dengan negeri jiran Malaysia kembali berulang, kontan kekecewaan yang berbalut kemarahan publik mencuat. Ternyata, sejauh ini, kedaulatan negara masih menjadi persoalan yang belum tuntas.
Pada saat bangsa ini tengah memperingati ulang tahun kemerdekaannya yang ke-65, Agustus ini, insiden penangkapan tiga aparat Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Riau oleh Polisi Perairan Malaysia seakan menjadi hadiah tergetir dalam perjalanan bangsa ini.
Betapa tidak, insiden tersebut dirasakan amat mengusik rasa kebangsaan mayoritas responden yang terekam dalam jajak pendapat kali ini. Hanya satu per sepuluh responden yang merasa tidak terusik dengan peristiwa tersebut. Terlebih, luapan ketersinggungan semacam ini sudah bersifat akumulatif lantaran bukan kali ini saja terekspresikan.
Berbagai peristiwa sebelumnya yang berkaitan dengan konflik klaim batas wilayah perbatasan dengan Malaysia, seperti sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, Ambalat, ataupun konflik yang bersinggungan dengan klaim hasil warisan budaya, seperti klaim tarian pendet, reog, dan lagu-lagu daerah, telah menyulut emosi kejengkelan masyarakat.
Di sisi lain, yang tak kurang mengenaskan adalah kisah perlakuan buruk terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mengadu nasib di Malaysia. Kisah buruh TKI itu lebih kerap terdengar ketimbang kondisi sebaliknya. Tidak heran jika sentimen negatif masyarakat lebih banyak terekspresikan saat ini.
Terkait dengan kegusaran yang kini tengah dirasakan masyarakat, timbul pertanyaan, mengapa peristiwa-peristiwa yang mengusik rasa kebangsaan semacam itu masih saja menjadi persoalan?
Melihat ke dalam
Kekecewaan dan kemarahan masyarakat dalam menanggapi tindakan provokatif yang dilakukan oleh aparat Pemerintah Malaysia memang terekspresikan. Namun, ekspresi tersebut tidak serta-merta membuat masyarakat menjadi reaktif dan bahkan bertindak jauh dari batas-batas kerasionalan.
Hasil survei ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden lebih memilih bersikap introspeksi dan melihat ke dalam ketimbang bersikap reaktif dengan tindakan yang provokatif.
Bagian terbesar responden melihat fakta bahwa kondisi bangsa Indonesia saat ini memang layak untuk dipandang sebelah mata oleh bangsa lain. Kondisi berbagai aspek kehidupan yang masih saja terpuruk membuat bangsa Indonesia tidak terlalu dipandang oleh bangsa lain.
Setidaknya, dua persoalan besar, yakni persoalan-persoalan yang terjadi di level penyelenggaraan negara dan di level masyarakat, hingga kini tampaknya masih rapuh dalam menopang kedaulatan negara.
Pada level penyelenggaraan negara, kuat ataupun lemahnya kedaulatan suatu negara di mata bangsa lain tampaknya tidak lepas dari kuat ataupun lemahnya kadar kepemimpinan yang dipraktikkan.
Dalam hal ini, kepercayaan diri dan harga diri sebagai suatu bangsa yang berdaulat juga tidak bisa terlepas dari kepemimpinan nasional yang tegas, kuat, dan penuh percaya diri. Kepemimpinan nasional yang kuat, tegas, dan tidak ragu-ragu dalam bersikap membuat citra bangsa yang disegani dan tidak dipandang remeh oleh bangsa lain.
Sikap semacam itu pernah ditunjukkan oleh Presiden Soekarno. Dengan sifat kepemimpinan nasional yang tegas dan penuh harga diri, Soekarno telah membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang disegani di dunia internasional. Kala itu, terutama selepas mampu melawan penjajahan, Soekarno mampu mengangkat rasa percaya diri bangsanya. Kala itu, bukan hal aneh lagi bangsa Indonesia tidak hanya berani menghadapi konfrontasi dengan tetangganya, tetapi juga dengan kekuatan neokolonialisme.
Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang tampaknya masih belum mencapai kondisi yang diidealkan, terutama pada saat berbagai percikan konflik muncul. Penilaian semacam ini dinyatakan oleh dua pertiga bagian responden.
Bagi mereka, belum kuatnya kadar kepemimpinan nasional saat ini ikut berperan membuat bangsa ini menjadi bangsa yang lemah dan kurang disegani di mata bangsa lain. Tidak heran pula apabila negara lain masih terus berupaya mengusik kedaulatan negara ini dengan berbagai cara.
Masih pada level penyelenggaraan negara, cerminan kurang idealnya kondisi yang dialami juga tampak pada pengelolaan berbagai aset bangsa. Dalam pandangan bagian terbesar responden, kurangnya perhatian pemerintah terhadap wilayah-wilayah di perbatasan masih menjadi persoalan.
Parahnya lagi, responden juga berpendapat bahwa makin seringnya sengketa perbatasan dan provokasi militer dari negara lain ke wilayah Indonesia disebabkan tidak memadainya kekuatan militer RI.
Minimnya kapal patroli yang mampu menjangkau, menjaga, dan melindungi seluruh wilayah terluar Indonesia, misalnya, membuat nelayan negara asing dan militer asing dengan mudah dan leluasa masuk perairan wilayah Indonesia tanpa mampu dicegah, bahkan dideteksi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila menurut data dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB tahun 2001 (Kompas, 18/8) setiap tahun Indonesia kehilangan 4 miliar dollar AS dari potensi ikan yang dicuri oleh nelayan dari negara asing.
Di sisi lain, mayoritas responden juga setuju bahwa lemahnya diplomasi, lemahnya kemandirian ekonomi, dan politik bangsa ini juga menjadi penyebab yang tidak kalah penting dari ujung pangkal persoalan sengketa dengan negara lain.
Kemandirian ekonomi Indonesia yang masih berada di tingkat lebih rendah apabila dibandingkan dengan kondisi di negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, membuat posisi tawar Indonesia seolah tidak kuat manakala ada persoalan yang melibatkan hubungan antarnegara.
Persoalan ini dengan mudah terlihat dari tingginya ketergantungan Indonesia terhadap Malaysia lantaran sekitar 2,2 juta TKI mencari peruntungan di negeri jiran tersebut.
Kerapuhan masyarakat
Masih rapuhnya penopang kedaulatan negara pada kenyataannya juga dirasakan dalam kehidupan masyarakat. Terkait dengan persoalan itu, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat turut menjadi batu sandungan bagi kelanggengan kedaulatan bangsa.
Menilik situasi ekonomi masyarakat, misalnya, kemiskinan dan kesenjangan masih menjadi belitan persoalan masyarakat. Kesejahteraan hingga kini masih teramat sulit tergapai. Persoalan ini pula yang menjadi alasan utama para pencari kerja mencoba berbagai peruntungan di negeri jiran. Besar kemungkinan migrasi para pencari kerja tidak akan semasif seperti yang terjadi saat ini apabila negara mampu menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya.
Minimnya kemandirian ekonomi masyarakat semakin diperparah oleh kondisi-kondisi sosial yang kini melingkupinya. Gambaran demikian terlihat dari minimnya apresiasi responden terhadap kondisi sosial riil yang terjadi masyarakat.
Aspek kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya, masih cukup besar dikeluhkan responden. Ikatan-ikatan sosial dalam masyarakat yang menjadi modal sosial terbentuknya bangsa ini seolah meredup. Terlebih berbagai persoalan yang menyangkut kedisiplinan dan etos kerja dinilai kurang memadai dalam menopang tingginya kualitas masyarakat.
Begitu kompleksnya persoalan yang tengah dihadapi, menjadi beralasan jika ketidakberdayaan acap kali tampil dalam berbagai gejolak yang mempertanyakan kedaulatan bangsa.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment